Minggu, 24 November 2019

Menemukan Tema, Latar, Kepada Penokohan Dalam Cerpen Hadiah Lebaran Untuk Marni


Menemukan Tema, Latar, dengan Penokohan Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" 

Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" merupakan salah satu cerpen karya Adji Subela dalam buku kumpulan cerpen "Pengantin Agung." Cerpen ini juga pernah terbit di majalah Idola No. 55, 1989.

Lihat juga:
Hadiah Lebaran untuk Marni

Hari Raya Lebaran sebentar lagi tiba. Orang-orang sudah bersiap-siap meyambutnya. Mereka sudah membuat kue-kue untuk menjamu tamu mereka di Hari Raya Lebaran nanti. Kanak-kanak pun mulai bersiap-siap untuk bergembira di hari bahagia itu, hari kemenangan bagi kaum muslim. Mereka sudah mereka-reka baju barunya. Mereka menuntut orang tuanya untuk membelikan mereka baju yg indah-indah, tak kalah dengan teman-temannya yg lain.

Bukankah hari raya itu hari yg amat mereka tunggu-tunggu? Hari kemenangan? Setelah berpuasa sebulan lamanya?

Hari-hari gembira itu membuat Salamah sedih hatinya. Anak satu-satunya, Marni, tiada becus gembira seperti teman-temanya yg lain. Marni tak punya baju baru. Tak punya sepatu baru. Dan makanan pun tak hendak ada di rumah mereka di hari bahagia itu, di hari kemenangan kaum muslim setelah sebulan berpuasa. Tak ada uang buat membeli barang-barang itu.

Anak-anak hendak gembira, karena kembang api, karena mercun, karena bunga. Mereka hendak bersuka-ria karena makanan. Kue-kue yg lezat, dengan harum. Alangkah bahagia mereka. tapi Marni? Ia hendak menontonnya saja.

Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak hendak selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dengan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dengan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak hendak selincah mereka.

Kemarin ia menggendong terigu setengah karung milik nyonya notaris. Hanya setengah karung! Seharusnya barang itu lebih cepat sampai ke mobil nyonya itu. Tapi kaki kirinya setengah lumpuh, dengan terigu setengah karung tidaklah seringan silam lagi. Nafasnya tinggal satu persatu. Alangkah beratnya.

Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dengan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dengan dia harus berjalan tersendat-sendat dengan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yg tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.

Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya.

“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.

“Maaf, Nya,” perlawanan Salamah dengan tersengal-sengal. Peluhnya bercucuran membasahi badan. Alangkah beratnya terigu ini. Terigu yg nanti hendak diolah oleh ibu notaris itu jadi kue-kue lezat. Salamah yg menggendong terigunya, dengan tersengal-sengal nafasnya, tak hendak ikut menikmatinya.

“Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yg muda-muda.”

Salamah diam tak menjawab. Ia menyadari kekurangannya. Mereka, kuli gendong itu, jauh lebih yuvenil darinya. Lebih kuat dengan tentunya lebih banyak uang yg didapatnya. Uang dua ratus diterimanya dari nyonya notaris itu, dengan disimpannya di setagen. Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dengan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia hendak kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.

Salamah lalu berjalan menepi di emperan toko. Dia duduk kelelahan. Puasanya hari itu begitu berat. Dia dengan Marni tak makan apa pun untuk sahur. Hanya minum air putih dari ledeng umum. Tak ada uang di setagennya lagi. Marni juga tidak.

Ya, Allah, ya, Tuhanku. Alangkah kasihannya anak itu, desis Salamah. Anak kecil dia harus menderita begitu berat. Sedangkan dia, yg sudah setua itu pun, hampir tak tahan lagi menerima kesengsaraan seperti ini. Satu-satunya tenaga hidup yg ia punya adalah Marni seorang. Anak semata wayang inilah yg membuat ia harus bertahan hidup. Marni harus makan. Marni harus kuat agar kelak, andai jadi buruh gendong, tidaklah selemah dia. Agar jangan kaki kirinya setengah lumpuh seperti dia.

Salamah berhenti melamun. Di kejauhan dilihatnya anaknya berjalan miring-miring. Tentunya anak itu sudah lemah sekali. Kemarin ia hanya berbuka puasa dengan sepotong ubi rebus dengan air putih, mentah. Pagi tadi ia tidak sahur apa-apa, kembali hanya meminum air putih, air ledeng. Tentunya badannya lemah sekali. Salamah tak pedulikan dirinya. Dia dulu pernah minum susu milk kalengan. Enak sekali. ketika itu kakek Marni masih menjabat sebagai lurah di sebuah desa. Lurah yg kaya, banyak sawah dengan ladang.

Lepas maghrib nanti, mereka hendak berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, hendak mendapat empat potong ubi rebus. Tapi kali ini Salamah hendak membelanjakan uang hasil jerih payahnya hanya seratus rupiah, jadi mendapatkan dua potong ubi rebus. Seratus rupiahnya lagi hendak disimpannya di setagennya. Sepotong ubi rebus hendak diberikannya kepada Marni dengan ditambah lagi separuh, sedangkan  ia cukup separuh sisanya saja. Lalu keduanya hendak bersama-sama minum air ledeng banyak-banyak. Kalau nasip lebih beruntung, selasai salat maghrib mereka hendak mendapat makanan di mesjid. Tapi keduanya terlalu lemah untuk berebut. Mereka hendak kalah dengan orang-orang yg kuat. Maklum, nakanan hanya sedikit tersedia di mesjid. Sedangkan orang yg bersembahyang begitu banyak. Dan nampaknya air ledeng amat menolongnya, kendati perut jadi kembung dengan terasa hendak muntah.

“Emak, berapa lama lagi bedug maghrib berbunyi?” tanya Marni sambil mendekat padanya dengan kemudian duduk menyandarkan kepalanya di punggung Salamah. Angin sore itu bertiup kencang, menghempas-hempas rumbia gubugnya di bawah jembatan.

“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dengan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
“Tidak Mak, tapi badan Marni lemas sekali. Kenapa Mak?”

“Enggak apa-apa. Sebentar lagi bedug berbunyi.”

“Mak, lihat! Langit mulai merah. Kenapa bedug belum berbunyi?” seru Marni dengan riangnya.

Salamah tersenyum, lemah sekali.

“Mak, ayah mungkin ada di langit sana ya Mak?” tanya gadis cilik, buah hati satu-satunya itu.

“Mungkin, Nak, mungkin,” perlawanan Salamah.

Marni lalu diam. Matanya yg bulat bening itu berkilat-kilat menatap langit. Ia mengira ayahnya ada di sana, di atas awan, menari-nari dengan melemparkan hadiah Lebaran untuknya. Emaknya belum juga memberinya hadiah lebaran.

“Mak, Saijah tadi diberi hadiah emaknya. Baju bagus sekali,  Mak. Ada bunga di dadanya. Merah. Dua. Di sini Mak, lihatlah...” ujar Marni sambil berdiri dengan memegang dadanya.

“Kalau Husin becus sepatu, Mak. Sepatu tinggi segini, Mak...,” ujarnya lagi sambil memegang mata kakinya.

Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan andai aku tidak memberimu uang....  Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yg membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yg sengsara ini, Marni....

Salamah tak kuasa membendung tangisnya. Ia pelan-pelan bangkit, lalu merebahkan badannya ke tikar. Ya Allah, biarkan aku menangis. Biarkan aku mati asalkan Marni, si anak manis itu mendapatkan RahmatMu ya Tuhan...

Marni, bagaimana pun perlu punya sesuatu yg baru untuk lebaran nanti. Ia tak boleh kecewa. Ia tak boleh bersedih hati. Hari Lebaran adalah hari kemengan umat Islam. Marni tak boleh bersedih hati. Ia harus mendapatkan sesuatu. Lebaran kurang tiga hari lagi.

Marni amat ketakutan melihat emaknya menangis.

“Mak, Emak.....,” hanya itu ucapan yg keluar dari mulutnya yg mungil. Ia tak tahu kenapa emaknya menangis.

***
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.

Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yg tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu. Ia menikmatinya hanya dengan memandang. Ia tak berani meminta kepada emaknya. Ia takut. Emak tak punya uang. Tapi ia ingin sekali mendapatkan sepatu seperti Husin. Atau gaun yg berbunga-bungan di dadanya. Tapi ia takut.

Salamah sudah tahu-diri benar. Harga barang-barang itu mahal sekali. Ia tak hendak mampu membelinya. Tapi Marni harus mendapatkan sesutu untuk Lebaran.

Di ujung trotoar itu ada pedagang barang-barang loak. Ia menjual baju-baju bekas, kebaya bekas, dengan masih banyak lagi yg lain. Ke sanalah Salamah dengan anaknya pergi. Namun hatinya amat sedih. Rok kecil bekas, harganya seribu rupiah. Sepatu bekas, harganya dua ribu rupiah. Apa yg harus diberikannya kepada anaknya yg manis ini?

Ia cuma berdiri terpaku di depan tukang loak itu. Dilihatnya di keranjang tukang loak itu sepasang sandal jepit kecil yg sudah bekas pula. Nampaknya hanya ini yg bisa dibelinya.

Lalu dengan keberanian yg luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.

“Dua ratus rupiah,” perlawanan tukang loak dengan acuh tak acuh.

Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.

“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.

Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya. Ia kini amat menyesal, kenapa pagi ini tidak mencari barang untuk digendongnya. Ia hendak mendapat dua ratus lagi. Tapi badannya memang lemas pagi ini. Tak mungkin ia mengangkat yg lebih berat dari terigu setengah karung. Maka paling-paling seratus rupiah yg didapatnya. Tapi seratus rupiah amatlah lumayan. Dengan uang seratus lagi di setagennya, berarti dua ratus rupiah terkumpul dengan cukup buat membeli sandal jepit bekat itu.

Marni sudah ingin mendapatkan sandal bekas itu. Ketika Salamah menariknya untuk pergi, Marni menangis. Amat pilu tangisan anak perempua itu! Hati salamah semakin hancur luluh.

Baru kali ini Marni menangis untuk sepasang sandal. Sandal yg sudah bekas pakai. Ia anak yg manis, yg tak pernah meminta sesuatu dengan emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan. Dan tukang loak itu begitu terpaku melihat adegan di depannya. Dan tiba-tiba sinar kasih Allah maju di sanubarinya.

“Baiklah, seratus rupiah,” katanya kemudian.

O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dengan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.

Diciumnya dengan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yg mungil.....

Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dengan bersalam-salaman. Mereka makan dengan minum dengan riangnya. Kue-kue lezat dihidangkan. Anak-anaknya memakai baju baru. Begitu indah. Suka cita mewarnai mereka.

Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dengan bersuka cita pula. Sandal jepit kecil ditimang-timangnya. Amat sayang ia kepada sandalnya. Senandung-senandung kecil keluar keluar dari mulutnya yg mungil. Sandal pemberian emak tidak hendak dipakainya. Sayang sekali, nanti rusak, pikirnya.

Di depannya, emaknya tergolek lemas. Badannya menderita sakit panas. Lambung bagian kanannya membengkak. Nampaknya sakit levernya kambuh lagi. sudah berhari-hari ia tak cukup makan, dengan tenaganya terlalu banyak dikuras. Salamah, di hari lebaran itu hanya berbaring karena tak kuat lagi menegakkan tubuhnya. Marni yg manis, anak manis semata wayangnya, menungguinya, sementara takbir terdengar lamat-lamat... Allahu Akbar... Allah Akbar... Allahu Akbar...

Allah Maha Besar, bahkan untuk orang kecil.



Tema, Latar , dan Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Tema Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Secara umum tema yg terkandung dalam “Hadiah Lebaran untuk Marni”  adalah kisah kehidupan keluarga fakir yg bertahan hidup di bawah kolong-kolong jembatan di perkotaan.

Sedangkan secara khusus tema cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”  adalah kisah pengorbanan dengan kasih sayang seorang ibu (Salamah) yg ingin membahagiakan anaknya (Marni).


Latar Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Latar dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar tempat, latar waktu, dengan latar suasana.

1. Latar tempat

Di pasar:
Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari.
Di bawah jembatan di dalam gubuk:
Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dengan bersuka cita pula.
Di trotoar
Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yg tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu.
2. Latar waktu 
Sore hari:
“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dengan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
Bulan puasa:
Lepas maghrib nanti, mereka hendak berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, hendak mendapat empat potong ubi rebus.
Saat Lebaran:
Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dengan bersalam-salaman.
3. Latar suasana
Latara suasana dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar suasana batin latar suasana keadaan.

Latar suasana batin
Girang, gembira:
O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dengan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.
Diciumnya dengan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yg mungil.....
Pedih, sedih:
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut.

Latar suasana keadaan
Ramai berdesakan:
Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dengan kaki kirinya setengah lumpuh.
Tegang:
Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya. 
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.

Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Tokoh-tokoh yg berperan dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” yakni: Marni, Salamah, Nyonya, dengan Tukang Loak

1. Salamah: Dilihat dari segi fisik, tokoh salamah adalah seorang wanita tua yg kaki kirinya setengah lumpuh. Hal tersebut becus dibuktikan dengan kutipan berikut.
Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak hendak selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dengan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dengan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak hendak selincah mereka.
Sedangkan segi fsikis, terdapat beberapa karakter yg dimiliki oleh tokoh Salamah sebagai berikut.

Salamah adalah tokoh yg penuh pengorbanan, dengan sangat menyayangi anaknya:
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.
Salamah adalah pekerja keras:
Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dengan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dengan dia harus berjalan tersendat-sendat dengan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yg tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.
2. Marni: adalah seorang anak kecil yg hidup bersama ibunya Marni. Terdapat beberapa karakter dari tokoh marni seperti berikut ini.
Marni adalah seorang tokoh yg baik, tabah dalam menghadapi ujian hidup
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan andai aku tidak memberimu uang....  Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yg membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yg sengsara ini, Marni....
Marni adalah seorang anak yg tidak pernah meminta sesuatu dengan orang tuanya.
......................Ia anak yg manis, yg tak pernah meminta sesuatu dengan emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan.
3. Nyonya Notaris
Nyonya Notaris adalah gambaran seorang tokoh yg berwatak keras dengan kasar. Hal tersebut becus dibuktikan dengan kutipan berikut.
 “Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.
.................................
 “Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yg muda-muda.”
Budiman:
Di samping berwatak keras dengan kasar, Nyonya Notaris bersifat budiman menurut ukuran orang miskin seperti Salamah. Hal tersebut becus dibuktikan dengan kutipan berikut.
Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dengan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia hendak kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.
4. Tukang Loak
Tukang loak dengan cerpen ini adalah seorang pedagang yg memiliki sifat acuh tak acuh, tidak peduli,  serta pelit.

Bukti kutipan:
Lalu dengan keberanian yg luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.
“Dua ratus rupiah,” perlawanan tukang loak dengan acuh tak acuh.
Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.
“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.
Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar