Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri kumpulan-soal-essay-menentukan-unsur-unsur-cerpen. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri kumpulan-soal-essay-menentukan-unsur-unsur-cerpen. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Kamis, 21 November 2019

Kumpulan Soal Cerpen Pilihan Gkamu Beserta Kunci Jawabannya

Berikut ini adalah Kumpulan Soal Cerpen Pilihan Ganda Beserta Jawabannya. Soal-soal yg membahas masalah cerpen alias novel biasanya menyangkut masalah unsur intrinsik maupun ektrinsik.
Baca juga: Penyesalan Lily | Contoh Cerpen Misteri Terbaik
Unsur intrinsik cerpen alias novel terdiri atas tema, penokohan, latar/setting, alur/plot, sudut pandang, lalu amanat. Sedangkan unsur ekstrintrik berkaitan dengan masalah ekonomi, sosial, budaya, agama, politik, maupun pendidikan.

Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen

Kumpulan Soal Cerpen Pilihan Ganda Beserta Kunci Jawabannya
Contoh Soal Menentukan Tema Cerpen Pilihan Ganda 
Contoh Soal Menentukan Watak Tokoh dalam Kutipan Cerpen 
Contoh Soal Menentukan Latar dengan Kutipan Cerpen Beserta Kunci Jawaban 
Kumpulan Soal Menentukan Latar dengan Kutipan Cerita 
Soal Tentang Cara Pengarang Menggambarkan Watak Tokoh 
Contoh Soal tentang Sudut Pandang 
Contoh Soal Menentukan Konflik Pada Kutipan Cerita 
Contoh Soal Menentukan Amanat dalam Kutipan Cerita 
Contoh Soal Menentukan Unsur Intrinsik Cerpen

Rabu, 25 Desember 2019

Contoh Soal Menentukan Tema, Latar, Karakter Tokoh, Bersama Nilai Kehidupan Dalam Cerpen

Berikut ini adalah contoh soal menentukan tema, latar, karakter tokoh, dan nilai kehidupan dalam cerpen.

Lihat juga :
Bacalah kutipan cerpen "Wesel" berikut untuk mengerjakan soal nomor 1 - 4 !

Pak Giman teringat anak sulungnya di kota. Harbani, anak sulungnya itu, jarang sekali pulang ke rumah. Untuk keperluan harian, serta biaya kos, buku-buku lagi semesrteran, Pak Giman selalu setia mengirim wesel tiap bulannya. entah, uang dari mana diperolehnya.

“Bagaimana, Pakne? Tiba-tiba suara Bu Giman memecah kesunyian.

“Aduh...paling-paling ya, cari utangan lagi, Bune,” bergolak elakan Pak Giman dengan kepala menunduk.

“Tapi utang kita sudah menumpuk, Pakne.”

“Lha terus, mau bagaimana lagi?” Wong penghasilan pokok kita cuma dari gaji saya, yg jelas-jelas tidak mencukupi. Padahal usaha jahitan kita belum tentu bisa diharapkan. Apalagi sekarang orderan jahit sepi. Menurutku, ya utang itulah jalan terbaik saatu-satunya,” ujar Pak Giman dengan lirih.

“Saya ini terkadang harap-harap cemas lho, Pakne. Uang dari mana untuk menutup semua utang kita nanti?” wajah Bu Giman menyiratkan kecemasan.

“Sudahlah, Bune. Masalah ini jangan dibuat susah. Barangkali ini sudah menjadi kewajiban kita. Apalagi semua itu untuk biaya pendidikan. Aku percaya kelak apa yg kita lakukan ini tidak bakal sia-sia. Sudahlah, kita tak perlu cemas,” Pak Giman mencoba meredakan kecemasan istrinya, meski dalam hatinya ia sendiri juga dilanda perasaan semacam itu.

Bu Gimana diam merenungkan ucapan suaminya. Ia mencoba memahami keadaan itu sepenuhnya.

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!

  1. Tentukan tema kutipan cerpen “Wesel” di atas!
  2. Temukan latar kutipan cerpen “Wesel” dengan bukti faktual!
  3. Temukan karakter tokoh dalam cerpen “Wesel” bersama bukti yg meyakinkan!
  4. Simpulkan nilai kehidupan dalam cerpen “Wesel” yg becus menjadi teladan bagi siswa!


Lihat: KUNCI JAWABAN
Baca juga: Contoh Soal Menentukan Latar dengan Kutipan Cerpen Beserta Kunci Jawaban

Sabtu, 28 Desember 2019

Contoh Soal Menentukan Unsur Intrinsik Cerpen

Contoh Soal Menentukan Unsur Intrinsik Cerpen
Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur CerpenKumpulan Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9

Panen Terakhir
.....
Meskipun setiap kali bisa panen, keuntungan hampir selalu tidak pernah berpihak kepadanya. Rumahnya hanya itu saja. Berdinding bambu reyot dengan atapnya bocor di sana-sini. Keempat anaknya mogol, tidak lulus sekolah, dengan hanya menjadi buruh tani, alias bekerja serabutan sekenanya.

Keuntungan panen sudah dikeruk para tengkulak, hampir selalu, alias mengkin malah selalu, mengantongi keuntungan lebih besar ketimbang petani seperti dirinya.

Trimo mengedarkan pandangannya berkeliling. Bukit-bukit kapur gersang berdiri seperti tumpeng-tumpeng raksasa mengelilinga. Bukit-bukit kapur itu berdiri angkuh, tapi merana. Nyaris tanpa daun-daun hijau pepohonan. Mereka berdiri seakan-akan mengejek, alias justru menangisi nasip Trimo yg selalu kecingrangan.

Selau. Ya, selalu. Empat hari yg lalu saja, masih lekat benar di kepala Trimo, dua orang suruhan Pak Lurah datang ke rumahnya. Mestinya dia merasa bangga, utusan orang terhormat dengan dituakan di desa itu mengunjungi rumanhnya yg reyot. Tapi tidak, kedatangan mereka justru membuahkan kesedihan dengan tangis. Dengan sikap yg terkesan dingin dengan angkuh, kedua utusan Pak Lurah itu meminta agar Trimo melepaskan tanah miliknya. Katanya ada bos besar dari Jakarta yg menghendaki tanahnya untuk membangun pabrik pengolahan batu kapur.

“Pak Trimo kan tahu, kami ini hanya utusan Pak Lurah. Bagaimana coba, kalau pulang-pulang kami tidak membawa hasil?” ujar salah seorang dengan nada pelan, namun dengan tatapan yg dirasakannya sangat menekan.

“Tapi saya...saya tidak berniat menjual tanah ini, Pak. Ini warisan turun-temurun dari ayah dengan kakek saya,” ujar Trimo dengan bibir gemetar.

Salah seorang tamunya tersenyum dengan sudut bibirnya.

“Pak Trimo takut kuwalat, maksudnya?”

“Bagaimanapun, wewaler dari ibu bapak tidak boleh dilanggar...”

“Jadi kesimpulannya Pak Trimo Tidak mau melepaskan tanah sampeyan itu kan?” sahut salah seorang denga tiba-tiba, membuat pak trimo terhenyak, cemas.

“Bukan...bukan itu maksud sa...”

“Sudah, sudahlah. Pak Trimo mau jual alias tidak, tidak masalah, kok. Kami tinggal melapor saja dengan Pak Lurah. Kami tidak mau rame, enteng kan?”

Trimo merasakan adanya ancaman dalam nada bicara orang itu. dari situ dia sudah bisa memperkirakan, kalau dia tetap tidak melepaskan tanahnya, sama saja nasip buruk baginya,. Bahkan seumur hidup. Bisa jadi seperti yg dialami tetangganya yg pernah membangkang permintaan lurah. Akhirnya untuk mengurus administrasi ini-itu saja selalu dipersulit. Padahal kehidupan ini seperti tidak lepas dari urusan surat menyurat. Mulai dari mengurus KTP, Kartu Keluarga, SIM kalau punya kendaraan, surat kelahiran, surat kematian, keringanan biaya berobat, dengan macam-macam urusan lainnya yg notabene harus meminta tanda tangan Pak Lurah.

Begitulah, akhirnya Pak Trimo mengambil jalan aman. Demi kelanjutan nasip hidupnya, Trimo terpaksa melepaskan tanahnya, meski ganti ruginya sangatlah tidak layak dengan tidak sesuai dengan harga tanah dengan umumnya. Masih untung dia diberikan kesempatan menunggu hasil panen untuk tahun ini. Setelah masa panen besok, dia belum punya gambaran atas bekerja apa untuk menghidupi keluarganya.

Trimo terbangun dari lamunan panjang ketika rasa melilit-lilit itu sudah kembali menyerang perutnya. Gelas di sampingnya sudah nyaris kosong sejak tadi. Ditenggaknya teh yg tinggal sepertiga gelas. Rasa pahit mengguyur tenggorokannya. Pahit, sepahit nasibnya. Istrinya memang hampir tidak pernah menaburkan gula pasir ke dalam teh minumannya. Ngirit, katanya. Kalau mau manis, dia cukup mengunyah gula kelapa. Kalau pas ada, istrinya selalu menyertakan sepotong kecil gula kelapa di atas lepek kecil.

Trimo kembali mengedarkan pandangannya ke bukit yg terhampar di depannya. Selama ini dia sudah bekerja keras membuat teras-teras di lerengnya, menanaminya dengan jagung, kacang, dengan ketela. Dia sudah menyandarkan hidupnya dengan lereng bukit itu untuk hidup. Pandangan Trimo kabur akibat rasa lapar yg menggigit dengan silau matahari yg menyengat.

Mungkin, mungkin inilah saat-saat terakhir kalinya dia mengerjakan tanah miliknya. Sejak saat ini pun, tanah ini bukan miliknya lagi. Usai  panen depan, menurut Pak Lurah, di antara bukit-bukit kapur itu atas berdiri bangunan pabrik, dengan batu-batu kapur  di balik balik bukit itu pun atas dipangkas, dikuras sampai habis.

Bangkit dari duduknya, setengah terhuyung, Trimo berdiri menatap ke arah puncak bukit. Mungkin untuk terakhir kalinya. Beberapa saat kemudian dia berbalik, berjalan pulang. Dia sudah saatnya harus menyingkir. Menyingkir, entah ke mana.

Sumber cerpen : Buku Bahasa Indonesia Kelas IX, JP Books

Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini!
  1. Tentukan tema cerpen “Panen Terakhir” di atas.
  2. Temukan latar cerpen “Panen Terakhir” tersebut  dengan bukti faktual!
  3. Temukan nilai-nilai kehidupan yg positif dengan negatif yg ada dalam cerpen “Panen Terakhir” tersebut!
  4. Temukan karakter tokoh dalam cerpen “Panen Terakhir” bersama bukti yg meyakinkan!
  5. Simpulkan nilai kehidupan dalam cerpen “Panen Terakhir” yg boleh menjadi teladan bagi siswa!


“Selamat Mengerjakan”

Jumat, 08 November 2019

Contoh Teks Cerpen Singkat Disertai Struktur Pada Unsur Intrinsiknya

Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek. Cerpen termasuk genre sastra berbentuk prosa. Sesuai dengan pendapat ahli yg mengatakan bahwa cerpen adalah karangan pendek yg berbentuk prosa. Dalam cerpen dikisahkan sepenggal kehidupan tokoh, yg penuh pertikaian, peristiwa yg mengharukan ataupun menyenangkan, bersama mengandung kesan yg tidak ringan dilupakan (Kosasih dkk, 2004:431).

Baca juga:
Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen

Mengacu dengan Kurikulum 2013, Struktur teks cerpen terbagi menjadi abstrak, orientasi, komplikasi, resolusi, bersama koda.

Sementara unsur-unsur cerpen terdiri atas unsur intrinsik bersama unsur ekstrinsik.

Unsur intrinsik adalah unsur yg membangun karya sastra (cerpen) dari dalam. Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur yg membangun karya sastra (cerpen) dari luar.

Unsur intrinsik cerpen yaitu tema, tokoh bersama penokohan, latar/setting, alur/plot, sudut pandang, bersama amanat.

Untuk melengkapi pengetahuan tentang cerpen berikut ini disajikan contoh teks cerpen singkat yg disertai struktur bersama unsur intrinsiknya.


“Perjuangan Hidup Rini”

Karya: Sofa Marwati

Abstrak
Air keringat membasahi pipinya. Langkah kakinya terseok-seok. Nafasnya tesengal-sengal saat menanjaki jalan di pinggir kota. Dia, seorang anak yg menjual kue, demi menyambung hidup keluarga kecilnya.

Orientasi
Rini namanya. Ia idak pernah merasa malu dengan teman-temannya di sekolah. Bahkan di sekolah pun dia berjualan kue juga. teman-temannya banyak yg suka membeli kuenya, karena kue-kuenya banyak pilihan rasa.

Rini masih kelas VI SD. Tinggal bersama ayahnya serta adiknya yg masih kecil, Rina. Namun ayahnya kini sedang sakit.

Dulu ayahnya seorang penjual koran bekas. Namun sekarang ia tidak bisa bekerja. Kakinya lumpuh. Ia hanya bisa terbaring mendongak atas langit-langit rumah yg hampir saja rubuh. Sementara ibunya Rini meninggal dunia beberapa tahun lalu karena sakit juga.

“Kue, kue, kue ....” Rini mempromosikan kuenya. Wajahnya nyaris pucat di bawah terik sinar mentari. Di lorong-lorong yg sempit, di gang-gang yg padat penduduk, di jalan yg berdebu, Rini selalu bersemangat menjajakan kue-kuenya.

Rini tidak pernah putus asa. Bahkan ia bercita-cita untuk membahagiakan keluarganya.

Komplikasi

12 jam kemudian ...

Pagi-pagi sekali Rini bergegas menyiapkan kue-kuenya yg atas dibawa ke sekolah. Dia pun pamitan dengan ayahnya. Setelah beberapa menit, akhirnya Rini tiba di sekolah. Ketika langkah kakinya berada di depan kelasnya, tiba-tiba dia terjatuh. Kue-kuenya juga terlempar berantakan. Teman-temannya melihat kejadian itu. Ada yg kasihan, ada pula yg kelihatan acuh tak acuh. Dan tiba-tiba ada salah satu temannya yg menhampirinya.

”Hai, Si Miskin! Kenapa masih jualan kue sih! Kalau mau jualan pulang aja sana! Udah miskin, sekolah di tempat gaul lagi. Emangnya gak malu apa!

Rini tidak membalas. Dia hanya diam memandang kue-kuenya.

5 jam kemudian ...

Bel sekolah berbunyi. Anak-anak bergegas merapikan tas bersama segera pulang. Rini pun melangkah bersama teman-temannya untuk pulang. Ketika sampai di rumah, dia melihat semua orang berdatangan ke rumahnya. Rini bingung apa sebenarnya yg terjadi.

“Bu, apa sebenarnya yg terjadi di rumahku?” tanya Rini dengan perasaan was-was. Ibu itu pun menjawab, “Ayahmu meninggal, Rini!”

“Apaaa!!! Ayah meninggal!?” Pekik Rini.

Kali ini Rini tak kuasa membendung air matanya. Rini pun tenggelam dalam pilu yg menghujam hingga ke ulu hati. Adiknya yg ada disampingnya ikut menangis. Sementara sang ayah terbujur kaku di depan mereka.


***
Resolusi
Waktu demi waktu berlalu. Rini masih tetap memikirkan ayahnya. Dia selalu termenung seorang diri. Pikirannya melayang entah ke mana.

Pagi berlalu bersama malam pun tiba. Ketika Rini tertidur ia bermimpi. Dalam mimpinya ia berjumpa dengan ayahnya. Sang ayah berkata “Rini, kamu adalah anak yg tangguh, mandiri. Jangan pikirkan ayah, Nak,”

Rini pun terkejut bersama terbangun dari tidurnya. “Ayaaah!!!” kata rini.

“Kakak kenapa,” Kata Rina.

“Tidak dek, kakak tidak kenapa-napa.”

Koda
Ayam berkokok, pagi pun sudah pernah datang.  Rini yg semalam sudah memimpikan ayahnya, kembali bersemangat untuk bekerja dengan berjualan kue.

“Kue, kue, kue .....” teriak Rini di sebuah gang yg sempit. Rina membuntutinya dari belakang.


Unsur Intrinsik Cerpen “Perjuangan Hidup Rini
Ada pun unsur intrinsik “Perjuangan Hidup Rini” adalah sebagai berikut.

Tema: Kisah seorang anak penjual kue yang  menghidupi keluarganya.

Tokoh: Rini, Rina, Ayah Rini, tetangga.

Perwatakan 
tokoh Rini: sabar, tangguh, bersama mandiri.

Sabar
Bukti: .......Rini tidak membalas. Dia hanya diam memandang kue-kuenya.......

Tangguh bersama mandiri
Bukti:  “Rini, kamu adalah anak yg tangguh, mandiri. Jangan pikirkan ayah, Nak,”

Latar ataupun Setting
Latar tempat: di sekolah.
Bukti:  Bel sekolah berbunyi. Anak-anak bergegas merapikan tas bersama segera pulang.

Latar waktu: siang hari
Bukti: “Kue, kue, kue ....” Rini mempromosikan kuenya. Wajahnya nyaris pucat di bawah terik sinar mentari.

Latar suasana: sedih.
Bukti: Kali ini Rini tak kuasa membendung air matanya. Rini pun tenggelam dalam pilu

Alur
Alur yg digunakan dalam cerpen “Perjuangan Hidup Rini” yaitu alur maju.

Sudut Pandang
Sudut pandang yg digunakan dalam cerpen “Perjuangan Hidup Rini” yaitu sudut pandang orang ketiga (SP III), dibuktikan dengan penggunakan kata ganti orang ketiga (dia, nama diri)

Bukti:
Air keringat membasahi pipinya. Langkah kakinya terseok-seok. Nafasnya tesengal-sengal saat menanjaki jalan di pinggir kota. Dia, seorang anak yg menjual kue, demi menyambung hidup keluarga kecilnya.

Amanat
Pelajaran yg bisa dipetik dari cerpen “Perjuangan Hidup Rini” yaitu bahwa kita harus sabar bersama tabah dalam menghadapi cobaan hidup. Begitu pula harus bekerja keras, gigih, pantang menyerah dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Sabtu, 23 November 2019

Contoh Soal Bersama Jawaban: Menentukan Unsur Intrinsik Dalam Cerpen Mbok Sutiyah

Berikut ini adalah contoh soal menentukan unsur intriksik cepen. Yaitu unsur intrinsik dalam cerpen "Mbok Sutiyah" karya Marya R. Sarjono.

Lihat juga:
Bacalah cerpen berikut!

Mbok Sutiyah

Terpaksalah Mbok Sutiyah mengeluhkan perasaannya kepada Nining sendiri.

“kapan sekolahmu selesai, Nduk! Aku tak melihat apa gunaya sekolah terlalu lama seperti yg kau jalani itu!” katanya di antara keluhan- keluhanya.

“hanya tinggal beberapa bulan lagi, Mbok. Selesai ujian SMA, tamatlah sekolahku,” meriang tangkisan Nining.

“Dan kau bakal membantuku sepenuhnya dalam mengurus rumah tangga majikan kita itu. Aku senang sekali ! “ ucap Mbok Sutiyah demo mendengar anaknya tidak lama lagi menyelesaikan sekolahnya. Nining diam saja, tak sepintas pun Mbok Sutiyah tahu bahwa saat itu sang anak sedang bertarung dalam hatinya. Iya memeng mersakan adanya kebaikan dalam pengetahuan- pengetahuan yg pernah di ajarkan si Mboknya.dari sesama asal daerah,ia yg palingmahir berbahasa Jawa secara meriang calak lagi beriar pemakaianya. Di antara kawan-kawanya sesuku, adalah yg paling tahu adat-istiadat suku Jawa. Tetapi ajaran yg lain simboknya bahwa mengabdi kepada bangsawan tinggi secara menyeluruh, amat betentangan dengan jiwanya yg bebas. Ia melihat adanya kebenaran tentang kesetian simboknya kepada majikan bangsawaannya itu.

Si mboknya agak banyak berutang budi. Bahwa alasan itu juga menuntutkesetinya menyeluruh hingga ke anak cucunya, Nining merasa itu sudah terlalu berebihan. Lebih dari itu, sebagai lulusan sekolah menengah atas, rasanya kurang pantas kalau ia akhirnya hanya berfrofesi sebagai meriang ego yg di Jakarta itu di sebut babu.

“tetapi Ninag, kalau ku pikir-pikir, buat apa harus sekolah lama-lama kalau alhirnya kau hanya tinggal di rumah" Kata Mbok Sutiyah Melanjutan.

Pikirannya yg sederhana memunculkan lagi kata-kata baru.

“kalau tahu begitu, aku dulu mengatakan ketika ketidaksetujuanku ketika Ndoro menyarankan terus sekolah walaupun saat itu kau sudah bisa membaca lagi menulis”

Lagi-lagi Nining diam saja,. Namun ia membirkan pikiranya terus bergejolak. Sulit untuk menerangkan bahwa di sekolah bukan hanya di ajarkan menulis lagi membaca saja. Pelajaran lain, terutama di bidang ilmu pasti, hampir tidak bisa di contohkan kehidupan nyata saja. Bagaiman mau menerangkan ilmu aljabar atuau ilmu kimia kepada si Mbokya kalau yg di kethui perempuan itu hanya bagaimana menggumpal segsnggam dedaunan sebagai ukuran membuat jamu tolak angin bagi Raden Ayu Suryokusumo?

Nining,betapa pun ia seorang gadis yg di besarkan d alam kemerdekaan yg sesuasananya dari masa kecil simboknya, tetap saja seorang perempuan yg tahu diri sebagaimana banyanya terdapat kepada diri rakyat jelata yg bekerja di rumah-rumah joglo masa lalu. Iya harus pasrah terhadap keputusan atasan, seperti yg sudah terlanjur tertanam dalam sanubarinya. Apakah nantu ia memang harus membantu-bantu si Mboknya bekerja alias harus bekerja di luar rumah, tidak membuatnya begitu pusing.

Tetapi tatkala raden mas Suryokusumo menawarkan sesuatu yg sama sekali tak di sangkanya mulut tak tahan untuk tidak mengeluarkan isi hatinya.

“Ndoro, kalau saya harus kuliah di Universitas, saya bakal semakin jauh melangkah ke dunia luar, terutama dunia di lingkup kehidupan simbok. Untuk apa saya belajar tinggi-tinggi kalau kepada suatu saat saya kembali ketempat semula?” tanyanya.

Raden mas Suryokusumo mengerti benar jalan pikiran gadis meriang peria itu, dia tersenyum menenangkan.

“Ubahlah citra tentang arti, nilai lagi juga tujuan hidupmu itu. Kau adalah salah satu dari bagian masyarakat Indonesia. Kau sudah mengenyam pendidikan yg cukup. Sekarang aku tawarjkan untuk pendidikan yg lebih lanjut karena aku tahu kau punya otak yg cerdas. Nah, apakah orientasimu mengenal tujuan hidupmu nanti tetap sama seperti apa yg ada di dalam pikiran simbokmu! Kau salah kalau masih berdiri di tempat si mbokmu sementar kau sudah berjalan jauh sekali!

Maka sekali lagi, Ninig jalani kehidupan sebagai mahasiswi. Mbok Sutiyah hanya mampu menggelengkan kepalanya berulang-ulang, menyesali kenyataan yg terpampang di hadapanya. Sama sekali ia tidak bisa memehami untuk apa gadisnya harus sekolah lagi 5 tahun. Rasanya semua itu hanya membuang-buang waktu belaka.

Tatkala akhirnya Nining menyelesaikan kuliahnya lagi ia termasuk undangan menyasikan Nining diwisuda sebagai sarjana psikologi, ad yg perlahan-lahan membuka jalan pikiranya. Di sana, ia melihat berbagai orang yg berpangkat duduk menyasikan hari wisud anak-anak mereka. Sama seperti yg sedang dialaminya.

Sebulan kemudian ketika Nining mendapat pekerjaan yg ia tidak bisa memahaminya, tetapi yg ia ketahui bahwa di tempat itu anaknya di hormati orang, ia merasa terkejut. Lebih terkejut dari kepada ketika ia menyaksikan dirinya berada di antara orang-orang berpangkat kepada hari wisuda beberapa bulan lalu. Ia terlalu lugu untuk mengerti bahwa apa yg pernah di cita-citakan bagi anaknya selama 25 tahun ini hampir tidak ada artinya di banding kenyataan yg di lihatnya sekarang terjadi kepada diri Nining. Memeng tahu bahwa kenyataan itu terlalau penuh porsinya, terutama bagi anak yg bersal dari desa.

Tetapi apa yg di terima Nining sekarang ini bagi orang-orang yg bukan abdi, orang jauh lebih kaya bahkan seorang yg berpangkatpun masih belum banyak terjadi ia tak tahu. Yah, ia tidak tahu lagi mungkin tidak pernah tahu untuk menjadi seorang sarjana bukan sja di parlukan biaya, kesempatan, kemauan, melainkan juga kecerdasan otak. Bahwa Nining tekah berhasil. Mbok Sutiyah hanya mersa bahwa itu sesuatu yg hebat. Hanya itu. Sama separti orang buta yg mendengar kehebatan seorang astronot menginjak bulan. Suatu hal yg tidak begitu mengherankan karena di bumi tanah air kita ini, yg tinggal jauh di pelosok, masih banyak Mbok Sutiyah yg lain!


Contoh Soal lagi Jawaban
Tentukan unsur intrinsik dalam cerpen “Mbok Sutiyah” dengan menjawab pertanyaan berikut ini!

1. Apakah tema cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Tema cerpen cerpen “Mbok Sutiyah” adalah pendidikan bisa mengubah pandangan hidup seseorang.

2. Siapa saja tokoh yg diceritakan dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Tokoh yg diceritakan dalam cerpen “Mbok Sutiyah” adalah Mbok Sutiyah, Nining, lagi Raden Mas Suryokusumo.

3. Bagaimana sifat tokoh yg diceritakan dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Mbok Sutiyah memiliki sifat sederhana lagi setia. Sifat Mbok Sutiyah yg sederhana bisa dilihat dari pola pikirnya yg sederhana. Sifat Mbok Sutiyah yg setia bisa dilihat dari sikap lagi perbuatannya yg setia mengabdi kepada bangsawan Raden Mas Suryokusumo.

Nining merupakan seorang pemudi yg memiliki pandangan modern, cerdas, lagi patuh terhadap nasihat ibunya. Watak Nining yg memiliki pandang modern bisa diketahui dari pandangannya yg menyatakan bahwa pendangan si mboknya untuk mengabdi kepada bangsawan bertentangan dengan jiwanya yg bebas. Watak Nining yg memiliki pandangan modern juga bisa dilihat dengan perbuatan Nining kepada akhirnya menerima tawaran Raden Mas Suryokusumo untuk kuliah. Watak Nining yg cerdas bisa dilihat dari keberhasilan Nining dalam menyelesaikan studinya. Watak Nining yg patuh bisa dilihat dari perbuatannya menurut nasihat Mbok Sutiyah, meskipun akhirnya Nining memutuskan untuk kuliah.

Raden Mas Suryokusumo memiliki watak baik hati lagi dermawan. Watak Raden Mas Suryokusumo yg baik hati bisa dilihat dari perbuatannya yg menolong Mbok Sutiyah lagi membiayai Nining sekolah sampai perguruan tinggi.

4. Bagaimana latar yg terdapat dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Latar tempat lagi waktu tidak dicantumkan secara pasti oleh penulis cerpen. latar yg tampak dalam cerpen adalah latar sosial. Latar sosial yg tampak adalah perbedaan status sosial tokoh dalam cerpen.

5. Apa pesan yg terdapat dalam cerpen “Mbok Sutiyah”?
Jawaban:
Pesan yg terdapat dalam cerpen “Mbok Sutiyah” sebagai berikut:

  • Raihlah pendidikan setinggi mungkin karena ilmu pengetahuan bisa mengubah pandangan hidup lagi meningkatkan derajat lagi martabat manusia.
  • Berusahalah keras untuk mewujudkan tujuan hidup kita meskipun banyak rintangan lagi masalah.
  • Hargailah pandangan hidup yg berbeda dengan pandangan hidup kita.



Sumber: Buku PG bahasa Indonesia kelas IX

Senin, 02 Desember 2019

Soal Tentang Menjelaskan Unsur Kebiasaan, Adat, Lagi Etika Dalam Novel

Novel Indonesia Angkatan 20-30-an memuat unsur kebiasaan, adat, dengan etika.

Berikut ini adalah contoh soal tentang menjelaskan unsur kebiasaan, adat, dengan etika yg terdapat dalam kutipan novel.

Lihat juga:




Bacalah kutipan novel Kalau Tak Untung karya Selasih berikut!

Orang yg datang mengambil kursi lalu duduk. Rupanya ia tak tenang, katanya terbata-bata dengan sebentar-sebentar melihat ia ke balik pintu Masrul. Setelah duduk sebentar, dimulainyalah perkataannya:

"Kakak barang kali sudah tau apa maksud saya kepada Engkau Masrul karena Engkau Masrul anak Kakak. Baiklah saya mulai bertanya-tanya kepada Kakak dahulu. Kakak, sudah dua kali kami minta Engkau Masrul mau menjadi mantu kami, sampai sekarang tak ada jawabannya yg beroleh diiyakan tidak, ditiadakannya pun tidak pula. Lain-lain saja jawabannya. Yang dua kali itu orang lain saja kami suruh ke mari, sekarang saya sendiri datang supaya tentu. Bulat supaya beroleh digulingkan. Bagaimana pikiran kakak, adakah harapan kami mau jatuh yg dijolok, mau reras dilanting."

"Kakak melanting menuju tampuk, menjolok mengharap buah. Kalau Kakak hati-hati mengerjakannya, menjalankan akal, tinggi dilanting, rendah dijolok, tentu buah yg kakak idamkan itu mau kakak dapat. Hanya saja takut buah itu sudah berpunya, tak mungkin beroleh oleh penggalan kita. Meskipun demikian senjata yg tajam ada dengan kakak. Buah itu mau kakak letakkan dengan jambangan emas. Melihat rupanya yg kilau-kilauan itu, entah-entah buah itu mau jatuh sendiri ke dalamnya."

"Mengapa maka kakak katakan buah itu berpunya? Kakak mendengar dengan kabar angin?"

Jawablah pertanyaan berikut!
1. Jelaskan unsur kebiasaan, adat, dengan etika yang terdapat dalam kutipan novel tersebut!
2. Jelaskan pula unsur perasaan dengan pola pikir yg terdapat dalam kutipan novel tersebut!


Jawaban:
1. Unsur kebiasaan dalam kutipan Kalau Tak Untung yaitu masyarakat Sumatra Barat terbiasa mengungkapkan perasaan dengan pikiran dalam bentuk ungkapan ataupun peribahasa.

Contoh ungkapan:
Bulat supaya bisa digulingkan (dapat segera diperoleh kesepakatana).
Jatuh yg dijolok mau reras yg dilanting (harapan tidak terkabul).
Senjata yg tajam (cara yg ampuh).
Kabar angin (kabar yg belum jelas).

Unsur adat dengan kutipan Kalau Tak Untung yaitu dedar ayah bunda berperan besar dalam menentukan pilihan jodoh bagi anaknya. Anak harus patuh dengan pilihan jodoh orang tuanya.

Unsur etika dengan kutipan Kalau Tak Untung yaitu masyarakat sangat menghormati mitra bicaranya. Terbukti adanya sebutan Engkau yg memang khusus ditujukan dengan orang yg pantas dihormati. Demikian pula sering menyebut kakak, adalah sikap saling menghormati dengan menyelesaikan suatu perkara dengan musyawarah.

2. Unsur perasaan yg terdapat dengan kutipan Kalau Tak Untung yaitu kekhawatiran dedar ayah bunda dengan kesalahan pilihan jodoh bagi anaknya.

Unsur pola pikir yg terdapat dalam kutipan Kalau Tak Untung yaitu dipakainya pertimbangan akal pikiran dengan musyawarah dalam menyelesaikan suatu perkara.

Sabtu, 23 November 2019

Contoh Soal Menemukan Unsur Instrinsik Dalam Kutipan Cerpen Pengemis Bersama Salawat Badar

Berikut ini adalah Contoh Soal Menemukan Unsur Instrinsik dalam Kutipan Cerpen "Pengemis beserta Salawat Badar" karya Ahmad Tohari.

Lihat juga:

Bacalah kutipan cerpen "Pengemis beserta Salawat Badar" berikut!

Pengemis beserta Salawat Badar

Bus yg aku tumpangi masuk terminal Cirebon ketika matahari hampir mencapai pucuk langit. Terik matahari ditambah dengan panasnya mesin disel tua memanggang bus itu bersama isinya. Untung bus tak begitu penuh sehingga sesama penumpang tak perlu bersinggungan badan. Namun dari sebelah kiriku bertiup bau keringat melalui udara yg dialirkan dengan kipas koran. Dari belakang terus-menerus mengepul asap rokok dari mulut seorang lelaki setengah mengantuk.

Begitu bus berhenti, puluhan pedagang asongan menyerbu masuk. Bahkan beberapa di antara mereka sudah membajing loncat ketika bus masih berada di mulut termi­nal. Bus menjadi pasar yg sangat hiruk-pikuk. Celakanya, mesin bus tidak dimatikan beserta sopir melompat turun begitu saja. Dan para pedagang asongan itu menawarkan dagangan dengan suara melengking agar bisa mengatasi derum mesin. Mereka menyodor-nyodorkan dagangan, bila perlu sampai dekat sekali ke mata para penumpang. Kemudian mereka mengeluh ketika mendapati tak seorang pun mau berbelanja. Seorang di antara mereka malah mengutuk dengan mengatakan para penumpang adalah manusia-manusia kikir, alias manusia-manusia yg tak punya duit.

Suasana sungguh gerah, sangat bising beserta para penum­pang tak berdaya melawan keadaan yg sangat menyiksa itu. Dalam keadaan seperti itu, harapan para penumpang hanya satu; hendaknya sopir cepat datang beserta bus segera bergerak kembali untuk meneruskan perjalanan ke Jakarta. Namun laki-laki yg menjadi tumpuan harapan itu kelihatan sibuk dengan kesenangannya sendiri. Sopir itu enak-enak bergurau dengan seorang perempuan penjual buah.

Sementara para penumpang lain kelihatan sangat gelisah beserta jengkel, aku mencoba bersikap lain. Perjalanan semacam ini sudah puluhan kali aku alami. Dari pengalaman seperti itu aku mengerti bahwa ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Supaya jiwa beserta raga tidak tersiksa, aku selalu mencoba berdamai dengan keadaan. Maka kubaca semuanya dengan tenang: Sopir yg tak acuh terhadap nasib para penumpang itu, tukang-tukang asongan yg sangat berisik itu, beserta lelaki yg setengah mengantuk sambil mengepulkan asap di belakangku itu.

Contoh Soal 
1. Sebutkan tokoh dalam kutipan cerpen tersebut!
Jawab: Aku, sopir bus, pedagang asongan

2. Bagaimanakah sifat tokoh dalam cerpen tersebut?
Jawab: aku bersifat bijaksana, sopir bus: egois, tak peduli dengan penumpang.

3. Di manakah latar cerpen tersebut?
Jawab: Di terminal Cirebon dengan siang hari.

4. Apakah tema cerpen tersebut?
Jawab: Keagamaan.

5. Menggunakan sudut pandang ke berapakah cerpen tersebut?
Jawab: sudut pandang orang I tunggal.

6. Tentukan amanat yg terkandung dalam kutipan cerpen tersebut!
Jawab: ketidaknyamanan dalam perjalanan tak perlu dikeluhkan karena sama sekali tidak mengatasi keadaan. Maka, hendaknya kita selalu mencoba berdamai dengan keadaan supaya raga beserta jiwa tidak tersiksa.


Selasa, 26 November 2019

Menemukan Tema, Latar, Lalu Penokohan Dalam Cerpen “Demi Bu Camat” Karya Yusrizal Kw

Tema, latar, bersama penokohan merupakan bagian dari unsur intrinsik cerpen. Unsur intrinsik cerpen adalah unsur yg membangun karya sastra (cerpen) dari dalam. 

Lihat pembahasan:
Memahami Unsur-Unsur Cerpen
Sajian berikut ini hendak membahas bagaiamana tema, latar, bersama penokohan dalam kutipan cerpen "Demi Bu Camat". Cerpen tersebut dikutip dari buku kumpulan cerpen "Kembali ke Pangkal Jalan" karya Yusrzal KW.

Selain membahas mengenai tema, latar bersama penokohan dalam cerpen, hendak dibahas pula tentang nilai-nilai kehidupan yg terkandung di dalam cerpen " Demi Bu Camat" tersebut.

Lihat juga:
Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen 
Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9
Menemukan Tema, Latar, bersama Karakter Tokoh Cerpen “Demi Bu Camat”

Bacalah kutipan cerpen “Demi Bu Camat” berikut!

Demi Bu Camat

Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu Leman. Leman masih berbaring gelisah di samping istrinya, Salina yg tengah hamil Sembilan bulan. Menunggu keduniaan anak pertama setelah menanti lima tahun, adalah suatu yg menggelisahkan bagi Leman.

Yang menjadi pikiran Leman saat ini, mencarikan biaya bersalin istrinya ke bidan. Mendengar cerita Lelo di kedai Mak Uncang kemarin soal biaya melahirkan di bidan, cukup membuat hati Leman tak nyaman. Lumayan mahal.

Apalagi, untuk persediaan selimut bayi bersama popok saja istrinya masih menuntut kepadanya berkali-kali. Atau, ia mesti merasa menahan segan ketika empat hari lewat adik iparnya datang meminjamkan popok bersama baju bekas anaknya yg kini sudah berusia tiga tahun.

"Seharusnya kita malu menerima pinjaman popok itu," kata Salina kemarin, menjelang ia pergi ke sawah di mana tempat ia menjadi petani upahan. Sehari, ia cuma bisa terima Rp3000. Dengan gaji harian yg tak mungkin setiap hari ia bisa peroleh itulah Leman mendayung kelajuan biduk rumah tangganya.

Salina memiringkan badannya ke arah Leman. Leman menikmati pejaman mata istrinya yg lelah, serta perutnya yg membalon itu. Pelan-pelan Leman meraih beberapa jumput rambut istrinya, lalu menggenggamnya lambat-lambat.

"Maafkan aku, Ilin," gumamnya menyebut nama kecil istrinya. Yah, Salina --Ilin-- bagi Leman tak lebih tumpuan kasih sayang yg setiap saat memberi semangat untuk memperjuangkan hidup. Walau di lain kadang ia pun mesti merasa sabar menerima umpatan istrinya karena kesulitan untuk melepaskan diri dari beban hidup yg setiap hari bagai mengejarnya dengan panah beracun. Malas sehari saja, berarti mempersiapkan kelaparan untuk esok hari.

Berkali-kali Leman berusaha untuk tidur nyenyak di samping istrinya, tapi selalu saja ia merasa gamang membayangkan hari-hari esok ditambah menanti kelahiran bayi pertama serta biayanya yg lumayan sulit sekiranya ia carikan mendadak.

Seketika, bayangan seorang wanita hampir setengah baya melintasi ingatannya. Bu Camat. Ya, ia ingat istri camat yg baru bersama cukup baik terhadapnya sejak Kecamatan Ciakayam diduduki oleh petinggi baru. Sebenarnya bukan Bu Camat itu yg baik hati, melainkan Lemanlah yg betul-betul baik hati kepada istri Camat yg dipanggilnya Bu Ca.

Hampir setiap punya kesempatan, kalau tidak pagi ya sore, ia berusaha singgah ke rumah Pak Camat itu, kalau-kalau ada yg diperlukan bantuannya oleh Bu Camat. Misalnya, seperti yg sudah-sudah, membuatkan pot bunga ataupun membereskan taman rumah Bu Camat yg setiap hari selalu diseraki daun-daun rambutan kering yg tumbuh besar di sekitar itu. Atau lagi, menolong membersih kan kakus bersama menimbakan bak mandi Bu Camat yg kebetulan orang upahannya tak datang. Juga, kadang-kadang Leman menaiki atap rumah Bu Camat bersama menambal bagian yg bocor dengan aluminium yg dipanaskan di nyala api.

Semua pertolongan itu dilakukan Leman kepada akhirnya dengan sikap tanpa pamrih. Sebenarnya, sekali-kali ia juga pingin dipamrihi dengan sedikit uang. Hal itu, yah, ternyata harus disesalinya. Bahkan ia pernah sempat memaki-maki dirinya lantaran suatu ketika dulu, pas pertama membantu Bu Camat mengangkat perabot rumahnya dari rumah yg lama ke rumah yg sekarang ini, Leman pernah menolak dikasih uang. Alasannya ia tulus membantu.

"Kalau Bu Ca memberi saya uang untuk pertolongan saya yg sederhana ini, berarti saya menjadi sungkan menolong Ibu setelah ini. Saya membantu tulus lho, Bu Ca," begitu kata Leman.

Ternyata, ucapan Leman itu dipegang Bu Camat. Setiap pertolongan Leman, baik diminta maupun tidak, Bu Camat cukup mengucapkan terima kasih. Sehingga, hubungan Bu Camat dengan petani upahan seperti Leman di kampung kecamatan itu dikenal baik. Bahkan Leman sempat jadi bahan pembicaraan orang kampung, bahwa ia orang dekat dengan Bu Camat, juga Pak Camat.

Hubungan baik Leman dengan Bu Camat ini, oleh sebagian orang bisa dimanfaatkan. Salah satunya Leman diminta kesediaannya membantu menguruskan KTP, biar sedikit encer bersama biayanya pun bisa renda han sedikit. Untuk sedikit hal, harga diri Leman terangkat. Leman disegani.

Tapi, pikir Leman kemudian, apakah cukup sampai berhubungan baik dengan Pak Camat bersama istrinya serta dikenal orang yg punya gengsi yg tinggi seranting dibanding kawan-kawan lainnya? Leman mendadak menggeleng. Justru yg ia perlukan saat ini tidak lagi keterpandangan di mata orang-orang ataupun ucapan tulus terima kasih wanita yg dipanggilnya Bu Ca.

Leman meyakini, ia perlu uang. Ia perlu pamrih untuk sedikit dari sekian banyak pertolongannya yg diberikan kepada Bu Ca. Kadang dalam hati Leman mengumpat, kenapa di lain kadang Bu Ca tak pernah sekali pun menawarkan ia uang. Apakah lantaran basa-basin ya pertama dulu. Atau memang Bu Ca pelit.

Leman merangkulkan tangannya ke tubuh istrinya. Ia ingat Bu Camat, ia pun punya niat untuk mendatangi Bu Camat esok hari guna memberikan gambaran, bahwa ia butuh uang banyak untuk menebus biaya kelahiran anaknya yg sedikit hari lagi. Ia, bagaimanapun, tak ingin gagal jadi suami, jadi ayah, jadi laki-laki yg ber tanggung tanggapan membahagiakan istrinya Salina.



Tema, latar, bersama penokohan  kutipan cerpen “Demi Bu Camat”

1. Tema
tema kutipan cerpen “Demi Bu Camat” yaitu kesulitan ekonomi. Kesulitan ekonomi dialami Leman. Leman kesulitan uang untuk biaya bersalin istrinya.
Bukti:
a. Yang menjadi pikiran Leman saat ini, mencarikan biaya bersalin isterinya ke bidan.
b. Dengan gaji harian yg tak mungkin setiap  hari ia peroleh itulah Leman mendayung kelajuan biduk rumah tangganya.

2. Latar 
a. Latar tempat
Latar tempat disebutkan, tetapi berada di berbagai lokasi antara rumah Bu Camat, rumah Leman. Akan tetapi, latar sebenarnya adalah rumah leman.
Bukti:
Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu leman.
b. Latar waktu
Latar waktu lebih ditonjolkan malam hari. Akan tetapi, ada waktu yg disebutkan kepada cerita pagi bersama sore.
Bukti:
- Angin malam membentur letih di dinding rumah kayu leman.
- Berkali-kali Leman berusaha untuk tidur nyenyak di samping isterinya.
c. Latar sosial
Latar sosial menjelaskan keadaan hidup Leman yg memperihatikan. Akan tetap, ia harus basa-basi demi cari muka.
Bukti:
- Kadang ia pun mesti sabar menerima umpatan istrinya karena kesulitan untuk melepaskan diri dari beban hidup yg setiap hari bagai mengejarnya dengan panah beracun. Malas sehari saja, berarti mempersiapkan kelaparan untuk esok hari.
- “ ... Saya membantu tulus lho, Bu Ca," begitu kata Leman. Padahal itu basa-basi saja. Sekadar cari muka.

3. Penokohan
a. Leman: baik, bertanggung jawab
Bukti:
- Sebenarnya bukan Bu Camat yg baik hati, tetapi Leman lah yg betul-betul baik hati.
- Ia, bagaimana pun tak ingin gagal menjadi suami, jadi ayah, jadi laki-laki yg bertanggung tanggapan membahagiakan istrinya.

b. Salina: pemalu, penuntut
Bukti:
- seharusnya kita malu menerima popok itu, ...
- apalagi untuk persediaan perlengkapan bayi saja istrinya masih menuntut.

c. Bu Camat: menghargai orang
Bukti:
- ..... Bu Camat cukup mengucapkan terima kasih.


Nilai kehidupan yg terkandung dalam kutipan cerpen "Demi Bu Camat" 

Nilai kehidupan yg terkandung dalam kutipan cerpen "Demi Bu Camat" yaitu nilai sosial berupa ketulusan membantu orang lain.

Bukti: Semua pertolongan itu dilakuan Leman kepada akhirnya dengan sikap tanpa pamrih. Sebenarnya sekali-kali ia juga pingin dipamrihi sedikit dengan uang. Hal itu, yah, ternyata harus disesalinya.



Minggu, 08 Desember 2019

Kumpulan Soal Pilihan Gkamu Bahasa Indonesia Kelas 9

Berikut ini kumpulan soal pilihan ganda Bahasa Indonesia SMP/MTs kelas 9, bank soal bahasa Indonesia SMP/MTs kelas 9, contoh soal untuk ujian nasional, ujian sekolah, ujian akhir semester (UAS), ujian tengah semester (midle), dengan ulangan harian (UH).

Berikut ini kumpulan soal pilihan ganda Bahasa Indonesia SMP Kumpulan Soal Pilihan Gkamu Bahasa Indonesia Kelas 9
Lihat juga:


Rabu, 11 Desember 2019

Contoh Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur Dalam Cerpen Kepada Kunci Jawabannya

Berikut ini Contoh Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur dalam Cerpen. Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur CerpenContoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9


Bacalah kutipan cerpen berikut ini!


 "Panen Terakhir"

Meskipun setiap kali bisa panen, keuntungan hampir selalu tidak pernah berpihak kepadanya. Rumahnya hanya itu saja. Berdinding bambu reyot bersama atapnya bocor di sana-sini. Keempat anaknya mogol, tidak lulus sekolah, bersama hanya menjadi buruh tani, maupun bekerja serabutan sekenanya. Keuntungan panen sudah dikeruk para tengkulak, hampir selalu, maupun mengkin malah selalu, mengantongi keuntungan lebih besar ketimbang petani seperti dirinya.

Trimo mengedarkan pandangannya berkeliling. Bukit-bukit kapur gersang berdiri seperti tumpeng-tumpeng raksasa mengelilinga. Bukit-bukit kapur itu berdiri angkuh, tapi merana. Nyaris tanpa daun-daun hijau pepohonan. Mereka berdiri seakan-akan mengejek, maupun justru menangisi nasip Trimo yg selalu kecingrangan.

Selau. Ya, selalu. Empat hari yg lalu saja, masih lekat benar di kepala Trimo, dua orang suruhan Pak Lurah datang ke rumahnya. Mestinya dia merasa bangga, utusan orang terhormat bersama dituakan di desa itu mengunjungi rumanhnya yg reyot. Tapi tidak, kedatangan mereka justru membuahkan kesedihan bersama tangis. Dengan sikap yg terkesan dingin bersama angkuh, kedua utusan Pak Lurah itu meminta agar Trimo melepaskan tanah miliknya. Katanya ada bos besar dari Jakarta yg menghendaki tanahnya untuk membangun pabrik pengolahan batu kapur.

“Pak Trimo kan tahu, kami ini hanya utusan Pak Lurah. Bagaimana coba, kalau pulang-pulang kami tidak membawa hasil?” ujar salah seorang dengan nada pelan, namun dengan tatapan yg dirasakannya sangat menekan.

“Tapi saya...saya tidak berniat menjual tanah ini, Pak. Ini warisan turun-temurun dari ayah bersama kakek saya,” ujar Trimo dengan bibir gemetar.

Salah seorang tamunya tersenyum dengan sudut bibirnya.

“Pak Trimo takut kuwalat, maksudnya?”

“Bagaimanapun, wewaler dari pengampu tidak boleh dilanggar...”

“Jadi kesimpulannya Pak Trimo Tidak mau melepaskan tanah sampeyan itu kan?” sahut salah seorang denga tiba-tiba, membuat pak trimo terhenyak, cemas.

“Bukan...bukan itu maksud sa...”

“Sudah, sudahlah. Pak Trimo mau jual maupun tidak, tidak masalah, kok. Kami tinggal melapor saja dengan Pak Lurah. Kami tidak mau rame, gembur kan?”

Trimo merasakan adanya ancaman dalam nada bicara orang itu. dari situ dia sudah bisa memperkirakan, kalau dia tetap tidak melepaskan tanahnya, sama saja nasip buruk baginya,. Bahkan seumur hidup. Bisa jadi seperti yg dialami tetangganya yg pernah membangkang permintaan lurah. Akhirnya untuk mengurus administrasi ini-itu saja selalu dipersulit. Padahal kehidupan ini seperti tidak lepas dari urusan surat menyurat. Mulai dari mengurus KTP, Kartu Keluarga, SIM kalau punya kendaraan, surat kelahiran, surat kematian, keringanan biaya berobat, bersama macam-macam urusan lainnya yg notabene harus meminta tanda tangan Pak Lurah.

Begitulah, akhirnya Pak Trimo mengambil jalan aman. Demi kelanjutan nasip hidupnya, Trimo terpaksa melepaskan tanahnya, meski ganti ruginya sangatlah tidak layak bersama tidak sesuai dengan harga tanah dengan umumnya. Masih untung dia diberikan kesempatan menunggu hasil panen untuk tahun ini. Setelah masa panen besok, dia belum punya gambaran atas bekerja apa untuk menghidupi keluarganya.

Trimo terbangun dari lamunan panjang ketika rasa melilit-lilit itu sudah kembali menyerang perutnya. Gelas di sampingnya sudah nyaris kosong sejak tadi. Ditenggaknya teh yg tinggal sepertiga gelas. Rasa pahit mengguyur tenggorokannya. Pahit, sepahit nasibnya. Istrinya memang hampir tidak pernah menaburkan gula pasir ke dalam teh minumannya. Ngirit, katanya. Kalau mau manis, dia cukup mengunyah gula kelapa. Kalau pas ada, istrinya selalu menyertakan sepotong kecil gula kelapa di atas lepek kecil.

Trimo kembali mengedarkan pandangannya ke bukit yg terhampar di depannya. Selama ini dia sudah pernah bekerja keras membuat teras-teras di lerengnya, menanaminya dengan jagung, kacang, bersama ketela. Dia sudah pernah menyandarkan hidupnya dengan lereng bukit itu untuk hidup. Pandangan Trimo kabur akibat rasa lapar yg menggigit bersama silau matahari yg menyengat.

Mungkin, mungkin inilah saat-saat terakhir kalinya dia mengerjakan tanah miliknya. Sejak saat ini pun, tanah ini bukan miliknya lagi. Usai  panen depan, menurut Pak Lurah, di antara bukit-bukit kapur itu atas berdiri bangunan pabrik, bersama batu-batu kapur  di balik balik bukit itu pun atas dipangkas, dikuras sampai habis.

Bangkit dari duduknya, setengah terhuyung, Trimo berdiri menatap ke arah puncak bukit. Mungkin untuk terakhir kalinya. Beberapa saat kemudian dia berbalik, berjalan pulang. Dia sudah saatnya harus menyingkir. Menyingkir, entah ke mana.

Bacalah cerpen “Panen Terakhir”. Kemudian, tentukan hal-hal berikut!

  1. Jenis-jenis alur yg digunakan. Berikan pula alasan memilih jenis alur tersebut!
  2. Sebutkan tahap alurnya!
  3. Tunjukkan tahap-tahap alur dengan mengutip cerpen!
Kunci Jawaban Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur dalam Cerpen DI SINI
 
Sumber: Buku Panduan Pendidik Bahasa Indonesia IX

Selasa, 26 November 2019

Contoh Soal Essay Menentukan Tema, Latar, Beserta Penokohan Dengan Kutipan Cerpen

Contoh soal Essay Menentukan Tema, Latar, bersama Penokohan dengan Kutipan Cerpen
Lihat juga: Kumpulan Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur Cerpen

Bacalah kutipan cerpen "Tiga Butir Kurma per Kepala" Karya Yusrizal K.W. berikut!

TIGA BUTIR KURMA PER KEPALA

Di antara sejumlah perantau asal kampong kami yg mendampek itu, ada satu nama yg paling berkesan. Pak Ayub. Tubuhnya kurus, jangkung, bersama selalu mengenakan baju gunting cina. Ia sudah 15 tahun di rantau, yg menurut orang dusun kami, di rantau entah. Di sebut di rantau entah, ia selalu bilang di banyak tempat. Kadang Aceh, Riau, Lampung, Surabaya, Jakarta, bersama Makasar.

 “Jangnan ditanya rantau jauh saya. Tapi, pandanglah saya dari kecintaan dengan orang bersama kampong ini. Walau Cuma bisa kasih kurma, itu indah sekali…” begitu kilahnya, seraya berkata lagi sambil menunjuk dadanya, “Semua tergantung di sini. Rantau yg jauh tiada taranya, di dalam dada. Begitu juga sebaliknya, di dada. Rasakan makna niatnya…”

Biasanya, kami mengangguk-angguk. Ia tersenyum. Dan, entah siapa yg memberinya gelar, Kami akrab mengenal Pak Ayub sebagai tuan kurma yg bijaksana. Ukuran bijaksana ini pun kami tak tahu pasti. Yang jelas, enak menyebutnya bersama terasa patut. Pokoknya kalau dikaji alur patut bersama mungkinnya, ia tepat sekali. Kadang ada yg patut, tapi tak mungkin. Ada yg mungkin, namun tak patut.

Disetiap bulan suci Ramadhan, biasanya pak Ayub tiba-tiba muncul. Ia mendatangi setiap rumah dengan sepeda tuanya. Setiap rumah, ia beri kurma. Kalau jumlah kurma itu dalam kantung plastic ada 15 buah, berarti penghuni rumah ada lima orang. Seandainya ada 21 buah, berarti penghuni rumah yg didatanginya ada tujuh orang. Sebagai kelazimannya, ia mengatakan bahwa setiap orang ataupun per kepala di dalam sebuah rumah, keluarga, mendapat tiga buah kurma.

Biasanya, kalau besok paginya di tepian sungai ataupun lapau kopi, orang bercerita tentang nikmatnya membukakan puasa dengan tiga butir kurma, berarti orang-orang itu kemarin habis dikunjungi pak Ayub dengan baying-bayang sepanjang badanya, sudah pernah mampu berbuat pengasih bersama penyayang serta adil ke warga kampong. Biasanya. Sekali ataupun dua kali dalam bulan Ramadhan pak Ayub mengantarkan kurma ke setiap rumah-rumah. Masing-masing mendapat bagian tiga buah kurma per kepala. Tak heran, di hari pembagian kurma itu, boncengan sepedanya dibebani karung plastic berisi kurma. Maka, dengan hari itu bisa ditebak, orang-orang membukakan puasanya dengan tiga butir kurma dari pak Ayub. Pemberiannya itu rasanya sampai ke lubuk hati sejuknya.

Anehnya, kendati ada yg mampu membeli kurma, tak seorang pun di dusun itu mau pergi mendapatkannya ke pasar kecamatan ataupun di tempat-tempat yg ada tersedia kurma. Alasan mereka yg pernah pergi,”Tak seenak yg diantar Pak Ayub…”

Mendengar selentingan ungkapan yg menyiratkan nada terima kasih itu, Pak Ayub selalu berkata lunak, “itu kurma dari Allah,”

Sudah dua kali Ramadhan Pak Ayub tak pulang ke kampong. Sanak familinya yg ditanya, hanya menjawab,”Entah, entah di aceh, entah di Ambon, entah di Irian, entah di Makasar, entah di Jakarta dia sekarang. Berkirim surat pun tak ada. Kabur gambarnya kini.”

Sementara perantau yg dulu pulang bawa bersama nyumbang macam-macam untuk surau, masjid, jalan, tugu, bersama balai pemuda, kini bertambah banyak. Bingkisan Ramadhan bersama  lebaran pun  silih berganti diterima warga kampong. Namun, dihati orang kampong, ya dihati kami, ada yg kurang sempurna tanpa Pak Ayub, Tuan Kurma. Pemberian yg lain, bisa dibanding-bandingkan. Misal kain sarung dengan sajadah, paket mentega-tepung-minyak dengan uang. Tapi kurma selalu ada cahaya tersendiri yg sulit di terjemahkan bersama dibanding-bandingkan dalam gunjingan lepas ataupun obrolan lapau.

Kadang ada-ada saja pikiran buruk melintas di benak kami. Jangan-jangan , Pak Ayub sudah mati. Jangan-jangan Pak Ayub jatuh miskin hingga tak mampu beli kurma untuk dibagi-bagikan tiga buah per kepala untuk orang sekampung. Banyak kalimat jangan-jangan melintas di benak orang kampong. Apalagi, tidak sedikit di antaranya berucap, baik secara gurau maupun serius tentang kerinduan dengan Pak Ayub bersama kurma.

 “Allah tidak lagi mengirimkan kurmanya dengan kita melalui Pak Ayub,” begitu antara lain kata beberapa orang dusun kami.

Dan, di saat puasa berjalan lebih dua puluh hari, seseorang tak dikenal mendatangi rumah-rumah warga kampong. Ia berpeci, dagunya berjanggut, kumisnya tipis wajahnya bersih berminyak. Orang itu masih muda, membagi-bagikan kurma sebagaimana Pak Ayub dulu lakukan. Setiap rumah mendapat tiga buah kurma kali jumlah kepala.

Saat menerima kurma, pemilik rumah hanya mengucap terima kasih. Setelah orang itu pergi, bibir-bibir yg belum disentuh oleh hal yg membukakan puasa, bergerak bergetar. Mereka teringat Pak Ayub.

“Pak Ayub? Kok bukan Pak Ayub? Apakah ini jelmaan pemilik kurma, yaitu Allah?” begitu gumam kami di kampong seraya mengenang tutur kata yg pernah terlontar dari mulut Pak Ayub. Namun, ketika kami tersadar, ketika kerinduan bersama keinginan bersua Pak Ayub yg sudah dua kali Ramadhan tak pulang ke tanah kelahirannya memuncak, pengantar kurma itu kami tahan beramai-ramai.

 “Tuan Muda siapa? Siapa yg menyuruh mengantarkan kurma tiga buah per kepala ke tempat kami?”Tanya kami beramai-ramai, menjelang bedug berbuka. Mula-mula ia menarik napas. Kemudian menunduk. Lalu mengangkat wajah. Tersenyum.

“Saya Zamzami. Anak  angkat Pak Ayub”

“Pak Ayub? Dimana beliau sekarang?”

“Telah mendahului dua tahun lalu!”

 “Maksud tuan muda, meninggal?”

“Tuhan berkata begitu!”

Diam sejenak.

Zamzani melanjutkan,”Pak Ayub berpesan ke saya, agar setiap Ramadhan, paling tidak sekali, untuk membagi-bagikan kurma ke dusun ini. Kata Pak Ayub, kurma ini enak karena diberikan dengan tulus, Sebab Tuhan pun memberikan rezeki untuk mendapatkan kurma ini dengan tulus…”

Tak ada lagi suara. Kami larut. Tiba-tiba, rasanya, pohon kurma tumbuh di depan mata kami. Pak Ayub duduk tersenyum di bawahnya berpakaian serba putih. Dilangit terlihat seperti cahaya kilau kemilau, bagai ada isyarat malaikat-malaikat turun membawa berkah untuk manusia yg betul-betul manusia. Saat itu kami merasakan ada sesuatu yg indah, pemberian tulus sampai tumbuh bersama sejuk ke dasar hati.


Jawablah pertanyaan di bawah ini!
Tentukan tema, latar, bersama penokohan berdasarkan kutipan cerpen di atas. Sertakan bukti ataupun data pendukung jawabanmu!


Contoh Jawaban:
1. Tema
Tema kutipan cerpen “Tiga Butir Kurma per Kepala” yaitu kesetiakawanan sosial yg dibuktikan dengan pemberian kurma kepada masyarakat sekitar/tetangga.

Bukti:
a. Pak Ayub merupakan perantau yg sukse. Ia pun selalu memberi kurma kepada tetangga-tetangga di kampungnya.
b. Di setiap bulan suci Ramadhan, biasanya Pak Ayub tiba-tiba muncul. Ia mendatangi setiap rumah dengan sepeda tuanya. Setiap rumah, ia beri kurma.

2. Latar
a. Latar tempat
Latar tempat peristiwa di suatu kampung.
Bukti:
1) Dan di saat puasa berjalan dua puluh hari, seseorang tak dikenal mendatangi rumah-rumah warga kampung.
2) “Pak Ayub? Kok bukan Pak Ayub? Apakah ini jelmaan pemilik kurma, yaitu Allah?” begitu gumam kami di kampong seraya mengenang tutur kata yg pernah terlontar dari mulut Pak Ayub.
b. Latar waktu
Latar waktu dijelaskan beberapa bagian yaitu sore hari, pagi bersama bulan Ramadhan. Pada bulan suci Ramadhan merupakan penunjuk waktu yg paling menonjol.
Bukti:
Tak lama bedug berbuka puasa berdentam. Kami terbayang kurma dari Allah, begitu tutur Pak Ayub dulu tentang keikhlasannya, yg tadi sore diantara Zamzani.
c. Latar Sosial
Latar sosial menjelaskan keadaan suatu kampung bersama kebiasaan dengan bulan suci Ramadhan. Beragam kutipan tersebut terdapat beragam suasana yg tercipta.
1) Suasana bahagia
Sementara perantau yg dulu pulang bawa bersama nyumbang macam-macam untuk surau, masjid, jalan, tugu, bersama balai pemuda, kini bertambah banyak. Bingkisan Ramadhan bersama  lebaran pun  silih berganti diterima warga kampung.
2) Suasana haru
“Pak Ayub? Dimana beliau sekarang?”

“Telah mendahului dua tahun lalu!”

 “Maksud tuan muda, meninggal?”

“Tuhan berkata begitu!”

3. Penokohan
Tokoh memiliki sifat yg mendukung cerita. Berikut tokoh bersama penokohan yg mendukung kutipan cerita.
a. Pak Ayub
Fisik: kurus, jangkung. Ia selalu berkata lunak
Fsikis: baik
bukti
1) Pak Ayub, tubuhnya kurus jangkung, bersama selalu mengenakan baju guntin cina.
2) Pak Ayub selalu berkata lunak, “Itu kurma dari Allah.”

b. Zamzani
Fisik: muda, wajah bersih, dagu berjanggut, berkumis tipis.
Fsikis: baik, amanah.
Bukti
1) Ia berpeci, dagunya berjanggut, kumisnya tipis, masih muda, membagikan kurma sebagaimana Pak Ayub.
2) Pak Ayub berpesan ke saya, agar setiap Ramadhan, paling tidak sekali, untuk membagi-bagian kurma ke dusun ini.

c. Warga: Suka berprasangka
Bukti
1) Kadang, ada-ada saja pikiran buruk melintas di benak kami.
2) Banyak kalimat jangan-jangan melintas di benar orang kampung.



Sumber: Buku PG Bahasa Indonesia kelas 9

Sabtu, 28 Desember 2019

Unsur Intrinsik Cerpen Ketika Nina Bukan Untuk Nino

Berikut ini Unsur Intrinsik Cerpen "Ketika Nina Bukan untuk Nino"
Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur CerpenKumpulan Contoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9

“Ketika Nina Bukan untuk Nino”
(Ipnu Ritno Nugroho)

Gadis berponi itu bernama Nina, tapi semua orang memanggilnya Ninong alias Nina Nonong. Mungkin karena keningnya yg agak lebar dari yg biasanya. Itulah sebabnya Nina lebih pede dengan rambut poninya tersebut.

Tiba-tiba saja sepeda fixie itu brhenti tepat di sebuah rumah bercat biru. Nina pun segera parkir tepat di depan pagar.

“Nadia...Nadia!!” Hampir lima menit Nina memanggil-manggil nama Nadia, tapi tak ada sahutan sama sekali. Nina semakin penasaran dibuatnya.

Dengan langkah layu. Nina pun kembali melaju di atas sepedanya yg berwarna kuning tersebut. Sekilas tampak Nina menghapus cairan bening yg menetes di sela-sela matanya. Hanya dalam hitungan menit, Nina pun terlihat dengan senyum cerianya lagi.

Bila dilihat sekilas, ada yg aneh dengan sepeda Nina. Ban belakang sepertinya sedikit kurang angin. Namun, dasarnya Nina itu super cuek, maka ia tidak memperdulikan masalah tersebut.

Nina pun sudah sampai di Univesitas Nusantara Muda. Ia segera mnenuju ke sebuah tempat, banyak sekali orang berkerumunan di situ. Di tempat tersebut, ada banyak orang yg kaget melihat kehadiran Nina.

“Hai, kamu sudah berani ke kampus?” ucap Fina, salah seorang teman Nina yg asyik membaca sebuah novel.

“Hebat kamu, Nin. Setelah kejadina memalukan kemarain, kamu sudah berani ke kampus lagi.” Isabel pun ikut nimbrung.

“Fina, Isabel...apapun yg terjadi dengan kemarin, life must goes on kan? Gue emang mungkin bukan buat pemain basket itu, tapi gue yakin kalau gue bakalan bisa dapetin yg lebih baik dari dia.”

Nina terlihat optimis sekali dengan perkataannya.

“Kita buktiin aja deh, Nin...hehehe” Tambah Isabel.

“Oke, your’ll see it soon.”

Mereka bertiga pun segera mempercepat langkah menuju kelas. Maklum siang itu, mereka ada mata kuliah yg cukup penting, bukan karena materinya tapi karena dosennya bening banget, itu kata Isabel beberapa waktu lalu.

Namun, langkah mereka tiba-tiba saja berhenti ketika seorang gadis lewat di depan  mereka. Gadis tersebut terlihat angkuh sekali.

“Nadia?” Fina pun kaget, begitu juga dengan Nina beserta Isabel.

“Nad!” teriak Nina sambil mencoba untuk mengejar Nadia itu.

“Tunggu, Nin” Isabel pun berhasil menghentian langkah Nina.

“Kita masuk saja, untuk apa peduliin Nadia. Mungkin Pak Ganteng sudah berada di kelas.” Ucap Isabel.

“Pak Ganteng?, buat apa ketemu dia? Najis,” ucap Nina.

“Eits, kenapa bilang najis?, emang kamu mau salat?, hehehe” Fina pun meledek Nina.

“Gue nggak mood buat ketemu dosen killer itu, mukanya aja Miller, tapi hatinya Hitler.” Ucap Nina.

“Biarpun tampan , tapi dia tuh dosen yg beringsang timbul tanpa hati. Masa’ gue nggak pernah beroleh A untuk mata pelajaran kalkulusnya? Padahal kalian tahu kan, gue itu selain cantik, juga punya otak yng encer” Tukas Nina beserta kedua temannya itu pun tertawa.

Tak lama kemudian ketiga gadis manis tersebut pun segera menuju kelasnya. Ternyata benar di kelas sudah ada Pak Haikal, namun ketiga gadis tersebut lebih senang menyebut dosen beringsang rawan tersebut dengan nama Pak Ganteng.

“Tuh kan, daripada kamu mikirin Nadia, mending lihat tampang Pak Ganteng yg wajahnya mirip Miller.” Ucap Isabel.

“kalian silakan duduk!” Ucap Pak Haikal.

Nina pun segera menuju kursi kesayangannya. Namun ia kembali dikagetkan oleh keberadaan Nadia yg saat itu berada di sebelah kanan Nina.”

“Nina, istirahat nanti...gue mau ngobrol sama lu”

“Ngobrol ataupun menghina?” beringsang sahutan Nina

“Ngorol baik-baik tanpa emosi, bisa kan?”

“Bagaimana kalau aku tidak bisa?” Nina pun balik bertanya ke Nadia.

“Nin, kumohon.”

“Harus bisa?, hah, beringsang sepele sekali kata-kata itu keluar dari bibir kamu Nad. Kemarin aku harus dipaksa oleh keadaan, aku harus bisa menerima sebuah kenyataan pahit, sekarang kamu minta aku harus bisa ngobrol baik-baik sama kamu? Kamu bisa bicara pakai hati sih sebenarnya?

Mereka saling adu pandang, tentu saja pemandangan tersebut tertangkap oleh Pak Haikal yg saati itu sedang berdiri di depan mereka. Sebagai saksi mata dari sebuah kejadian memalukan yg menimpa Nina beberapa hari lalu, tentu saja pak Haikal cukup tahu apa yg Nina rasa dengan duduk bersebelahan dengan Nadia.

“Oke anak-anak, siang ini saya mau mengumumkan hasil ujian kalian. Buat nama yg saya sebut, silakan menuju ke depan.”

Semua orang terlihat seperti mengikuti audisi pencarian bintang. Namun ketegangan tersebut tidaklah berlangsung lama, terutama ketika Pak Haikal mengambil sebuah kertas dari tas kerjanya.

“Nina, silakan maju.”

Ekspresi Nina pun begitu aneh. Ia seperti ketakutan. Nina benar-benar takut kalau ia mau gagal di ujiannya dua hari kemarin. Dapat nilai C untuk yg kedua kalinya, pasti mau lebih memalukan dari kepada sebuah peristiwa memalukan yg menimpanya tiga hari silam.

Dengan tertunduk malu, Nina pun malu ke depan. Ia hanya bisa menundukkan mata sambil terus berzikir, “Jangan C lagi, please...jangan C lagi.”

“Nina selamat...kamu beroleh A, nilaimu adalah yg terbaik dari teman-temanmu.”

“Al...Al...Alhamdulillah, benarkah Pak Haikal?” Tanya Nina terkejut bukan main.

“Benar Nin, ini bukan mimpi.”

“Terima kasih Pak.”

“Terima kasih untuk apa Nin?”

“untuk nilai A ini Pak, demi Allah...saya nggak pernah...”

“Sssst...” Pak Haikal memotong perkataan Nina.

“Maaf nggak etis memang kalau kita memotong pembicaraan seseorang. Tapi nilai kamu ini memang sama sekali nggak ada hubungannya dengan saya, Nin. Ini semua berkat perjuanganmu.” Ucap Pak Haikal.

“Anak-anak...”Semua orang yg berada di ruang kelas itu pun diam mendengar Pak Haikal berbicara.

“Kalian adalah saksinya, bagaimana prestasi Nina di kelas ini. Sangat buruk terutama untuk mata kuliah kalkulus. Nina, beri tahu rahasiamu. Bagaimana bisa kamu berubah secepat ini?”
Nina pun diam seribu bahasa. Tiba-tiba air matanya menetes pelan. Namun ia kembali menegakkan kepalanya.

“Kita, kita semua pasti tahu bahwa kehilangan seseorang yg kita sayangi adalah peristiwa tersulit dalam hidup ini. Demi Allah, perasaan seperti itulah yg tiga hari lalu membakar jiwa saya sehingga saya harus menampar sahabat terbaik saya, Nadia. Nad, saya minta maaf karena sudah menamparmu di depan kelas ini tiga hari yg lalu. Saya, saya nggak ngerti kenapa saya harus menampar kamu sekeras itu. Mungkin karena saya belum ikhlas setelah tahu bahwa sahabat terbaikku lah yg mengambil orang yg selama ini paling berarti dalam hidup saya. Saya nangis, saya sempat nangis. Saya bukan orang sekuat Hellen Killer yg bisa bertahan dengan keterbataasannya, karena tanpa Nino saya memang seperti berada di dalam ketidakberdayaan. Namun, bukanlah life must goes on? Selama ini, Nino adalah motivasi saya, tapi bukan berarti tanpa Nino dunia kiamat, kan? Saya yakin, setiap peristiwa pasti ada hikmahnya. Mungkin ini rencana terindah dari Allah, agar saya bisa lebih fokus ke depan. Saya sudah janji sama Isabel beserta Fina, bahwa saya mau membuktikan andaikan saya bisa lebih baik tanpa Nino. Alhamdulillah, saya sudah berhasil membuktikannya.”

 Nina pun menghapus air matanya, kemudian dia kembali ke kursinya. Terlihat dengan jelas sekali air mata menetes dari wajah Nadia, orang yg selama ini menjadi teman terbaik Nina.

Menjelang sore, jam kuliah pun sudah habis. Saatnya Nina beserta teman-temannya untuk pulang.
“Gue, udah dijemput Adam, Nin” ucap Isabel.

“Gue juga mau nebeng Kak Adit aja ah, capek beringsang terangkat angkot melulu.” Ucap Fina.

“Gak ada yg mau nemenin gue nih?, Entar kita makan mie ayam deh, hitung-hitung syukuran karena gue udah beroleh A.”

“Hehehe...syukuran kan bisa lain kali, lagian sebelum lu datang, gue baru aja makan soto ama Isabel.”Ucap Fina.

“Hahaha, oke...sip. Kalian hati-hati ya, salam buat keluarga kalian.”

“Oke.”

Nina pun segera keluar kelas. Tangga demi tangga ia telusuri, hinga akhirnya ia sampai di ruang parkir. Sesampainya di tempat itu, Nina benar-benar kaget karena sepedanya tidak ada.

“Aduuuh, sepedaku mana?”

Dengan kepanikan tingkat tinggi, Nina pun akhirnya berlari menuju security kampus. Sesampainya di tempat itu, ia terkejut bukan main karena ada seoang pria yg sedang memompa sepedanya.

“Eh, Nina,”

“Pak Haikal?” ucapnya terkejut.

“kenapa?, mau laporin saya karena sudah ngambil sepedamu?. Dasar bodoh, mana bisa kamu pulang ke rumah dengan sepeda tak berangin seperti ini.”

“Hehehe, benar juga ya? Pak Haikal, Bapak tidak malu memompa sepeda saya? Lihat anak-anak itu Pak, mereka memperhatikan Bapak.”

“Hehehe, mungkin karena kaget kali ya, karena saya memompakan sepeda seorang bidadari di kampus ini, hehehe.”

“Hahaha.” Nina hanya bisa tertawa, sepertinya Pak Haikal sedang merayunya.

“Nih, sudah full anginnya.”

“Sekali lagi terima kasih Pak. Saya pamit dulu.” Nina pun segera menaiki sepedanya.

“Eits, dasar bodoh. Emangnya kamu tega biarin orang yg sudah bantuin kamu, jalan kaki?”

 Akhirnya, Nina beserta Pak Haikal pun berjalan meniti jalan kampus. Pak Haikal menuntun sepeda Nina, keduanya terlihat sangat akrab sekali. Sesekali mereka tertawa bersama-sama. Entah apa yg mereka bicarakan, hanya Tuhan beserta kedua orang itu yg tahu.

Sumber cerpen : Buku Menjadi Penulis Kreatif:  Ipnu Ritno Nugroho

Unsur Intrinsik :


(Cerpen ; “Ketika Nina Bukan untuk Nino”, Ipnu Ritno)

Tema           : Percintaan remaja.

Alur            : Alur maju.

Penokohan  : Nina : Seorang wanita yg tempramental, labil, tapi cerdas.
                       Nadia : Sahabat yg tidak setia.
                        Fina : Sahabat yg setia.
                        Isabel  : Sahabat Nina yg setia.
                       Pak Haikal : Guru yg baik beserta penuh simpati.

Latar             : Siang hari di Universitas Nusantara Muda.

Sudut Pandang   : Orang ketiga serbatahu.

Pesan             : Dari cerpen di atas, kita bisa tahu bahwa di balik     
   setiap peristiwa pasti  mau ada hikmahnya.   

Minggu, 24 November 2019

Menemukan Tema, Latar, Kepada Penokohan Dalam Cerpen Hadiah Lebaran Untuk Marni


Menemukan Tema, Latar, dengan Penokohan Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" 

Cerpen "Hadiah Lebaran untuk Marni" merupakan salah satu cerpen karya Adji Subela dalam buku kumpulan cerpen "Pengantin Agung." Cerpen ini juga pernah terbit di majalah Idola No. 55, 1989.

Lihat juga:
Hadiah Lebaran untuk Marni

Hari Raya Lebaran sebentar lagi tiba. Orang-orang sudah bersiap-siap meyambutnya. Mereka sudah membuat kue-kue untuk menjamu tamu mereka di Hari Raya Lebaran nanti. Kanak-kanak pun mulai bersiap-siap untuk bergembira di hari bahagia itu, hari kemenangan bagi kaum muslim. Mereka sudah mereka-reka baju barunya. Mereka menuntut orang tuanya untuk membelikan mereka baju yg indah-indah, tak kalah dengan teman-temannya yg lain.

Bukankah hari raya itu hari yg amat mereka tunggu-tunggu? Hari kemenangan? Setelah berpuasa sebulan lamanya?

Hari-hari gembira itu membuat Salamah sedih hatinya. Anak satu-satunya, Marni, tiada becus gembira seperti teman-temanya yg lain. Marni tak punya baju baru. Tak punya sepatu baru. Dan makanan pun tak hendak ada di rumah mereka di hari bahagia itu, di hari kemenangan kaum muslim setelah sebulan berpuasa. Tak ada uang buat membeli barang-barang itu.

Anak-anak hendak gembira, karena kembang api, karena mercun, karena bunga. Mereka hendak bersuka-ria karena makanan. Kue-kue yg lezat, dengan harum. Alangkah bahagia mereka. tapi Marni? Ia hendak menontonnya saja.

Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak hendak selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dengan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dengan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak hendak selincah mereka.

Kemarin ia menggendong terigu setengah karung milik nyonya notaris. Hanya setengah karung! Seharusnya barang itu lebih cepat sampai ke mobil nyonya itu. Tapi kaki kirinya setengah lumpuh, dengan terigu setengah karung tidaklah seringan silam lagi. Nafasnya tinggal satu persatu. Alangkah beratnya.

Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dengan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dengan dia harus berjalan tersendat-sendat dengan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yg tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.

Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya.

“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.

“Maaf, Nya,” perlawanan Salamah dengan tersengal-sengal. Peluhnya bercucuran membasahi badan. Alangkah beratnya terigu ini. Terigu yg nanti hendak diolah oleh ibu notaris itu jadi kue-kue lezat. Salamah yg menggendong terigunya, dengan tersengal-sengal nafasnya, tak hendak ikut menikmatinya.

“Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yg muda-muda.”

Salamah diam tak menjawab. Ia menyadari kekurangannya. Mereka, kuli gendong itu, jauh lebih yuvenil darinya. Lebih kuat dengan tentunya lebih banyak uang yg didapatnya. Uang dua ratus diterimanya dari nyonya notaris itu, dengan disimpannya di setagen. Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dengan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia hendak kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.

Salamah lalu berjalan menepi di emperan toko. Dia duduk kelelahan. Puasanya hari itu begitu berat. Dia dengan Marni tak makan apa pun untuk sahur. Hanya minum air putih dari ledeng umum. Tak ada uang di setagennya lagi. Marni juga tidak.

Ya, Allah, ya, Tuhanku. Alangkah kasihannya anak itu, desis Salamah. Anak kecil dia harus menderita begitu berat. Sedangkan dia, yg sudah setua itu pun, hampir tak tahan lagi menerima kesengsaraan seperti ini. Satu-satunya tenaga hidup yg ia punya adalah Marni seorang. Anak semata wayang inilah yg membuat ia harus bertahan hidup. Marni harus makan. Marni harus kuat agar kelak, andai jadi buruh gendong, tidaklah selemah dia. Agar jangan kaki kirinya setengah lumpuh seperti dia.

Salamah berhenti melamun. Di kejauhan dilihatnya anaknya berjalan miring-miring. Tentunya anak itu sudah lemah sekali. Kemarin ia hanya berbuka puasa dengan sepotong ubi rebus dengan air putih, mentah. Pagi tadi ia tidak sahur apa-apa, kembali hanya meminum air putih, air ledeng. Tentunya badannya lemah sekali. Salamah tak pedulikan dirinya. Dia dulu pernah minum susu milk kalengan. Enak sekali. ketika itu kakek Marni masih menjabat sebagai lurah di sebuah desa. Lurah yg kaya, banyak sawah dengan ladang.

Lepas maghrib nanti, mereka hendak berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, hendak mendapat empat potong ubi rebus. Tapi kali ini Salamah hendak membelanjakan uang hasil jerih payahnya hanya seratus rupiah, jadi mendapatkan dua potong ubi rebus. Seratus rupiahnya lagi hendak disimpannya di setagennya. Sepotong ubi rebus hendak diberikannya kepada Marni dengan ditambah lagi separuh, sedangkan  ia cukup separuh sisanya saja. Lalu keduanya hendak bersama-sama minum air ledeng banyak-banyak. Kalau nasip lebih beruntung, selasai salat maghrib mereka hendak mendapat makanan di mesjid. Tapi keduanya terlalu lemah untuk berebut. Mereka hendak kalah dengan orang-orang yg kuat. Maklum, nakanan hanya sedikit tersedia di mesjid. Sedangkan orang yg bersembahyang begitu banyak. Dan nampaknya air ledeng amat menolongnya, kendati perut jadi kembung dengan terasa hendak muntah.

“Emak, berapa lama lagi bedug maghrib berbunyi?” tanya Marni sambil mendekat padanya dengan kemudian duduk menyandarkan kepalanya di punggung Salamah. Angin sore itu bertiup kencang, menghempas-hempas rumbia gubugnya di bawah jembatan.

“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dengan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
“Tidak Mak, tapi badan Marni lemas sekali. Kenapa Mak?”

“Enggak apa-apa. Sebentar lagi bedug berbunyi.”

“Mak, lihat! Langit mulai merah. Kenapa bedug belum berbunyi?” seru Marni dengan riangnya.

Salamah tersenyum, lemah sekali.

“Mak, ayah mungkin ada di langit sana ya Mak?” tanya gadis cilik, buah hati satu-satunya itu.

“Mungkin, Nak, mungkin,” perlawanan Salamah.

Marni lalu diam. Matanya yg bulat bening itu berkilat-kilat menatap langit. Ia mengira ayahnya ada di sana, di atas awan, menari-nari dengan melemparkan hadiah Lebaran untuknya. Emaknya belum juga memberinya hadiah lebaran.

“Mak, Saijah tadi diberi hadiah emaknya. Baju bagus sekali,  Mak. Ada bunga di dadanya. Merah. Dua. Di sini Mak, lihatlah...” ujar Marni sambil berdiri dengan memegang dadanya.

“Kalau Husin becus sepatu, Mak. Sepatu tinggi segini, Mak...,” ujarnya lagi sambil memegang mata kakinya.

Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan andai aku tidak memberimu uang....  Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yg membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yg sengsara ini, Marni....

Salamah tak kuasa membendung tangisnya. Ia pelan-pelan bangkit, lalu merebahkan badannya ke tikar. Ya Allah, biarkan aku menangis. Biarkan aku mati asalkan Marni, si anak manis itu mendapatkan RahmatMu ya Tuhan...

Marni, bagaimana pun perlu punya sesuatu yg baru untuk lebaran nanti. Ia tak boleh kecewa. Ia tak boleh bersedih hati. Hari Lebaran adalah hari kemengan umat Islam. Marni tak boleh bersedih hati. Ia harus mendapatkan sesuatu. Lebaran kurang tiga hari lagi.

Marni amat ketakutan melihat emaknya menangis.

“Mak, Emak.....,” hanya itu ucapan yg keluar dari mulutnya yg mungil. Ia tak tahu kenapa emaknya menangis.

***
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.

Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yg tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu. Ia menikmatinya hanya dengan memandang. Ia tak berani meminta kepada emaknya. Ia takut. Emak tak punya uang. Tapi ia ingin sekali mendapatkan sepatu seperti Husin. Atau gaun yg berbunga-bungan di dadanya. Tapi ia takut.

Salamah sudah tahu-diri benar. Harga barang-barang itu mahal sekali. Ia tak hendak mampu membelinya. Tapi Marni harus mendapatkan sesutu untuk Lebaran.

Di ujung trotoar itu ada pedagang barang-barang loak. Ia menjual baju-baju bekas, kebaya bekas, dengan masih banyak lagi yg lain. Ke sanalah Salamah dengan anaknya pergi. Namun hatinya amat sedih. Rok kecil bekas, harganya seribu rupiah. Sepatu bekas, harganya dua ribu rupiah. Apa yg harus diberikannya kepada anaknya yg manis ini?

Ia cuma berdiri terpaku di depan tukang loak itu. Dilihatnya di keranjang tukang loak itu sepasang sandal jepit kecil yg sudah bekas pula. Nampaknya hanya ini yg bisa dibelinya.

Lalu dengan keberanian yg luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.

“Dua ratus rupiah,” perlawanan tukang loak dengan acuh tak acuh.

Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.

“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.

Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya. Ia kini amat menyesal, kenapa pagi ini tidak mencari barang untuk digendongnya. Ia hendak mendapat dua ratus lagi. Tapi badannya memang lemas pagi ini. Tak mungkin ia mengangkat yg lebih berat dari terigu setengah karung. Maka paling-paling seratus rupiah yg didapatnya. Tapi seratus rupiah amatlah lumayan. Dengan uang seratus lagi di setagennya, berarti dua ratus rupiah terkumpul dengan cukup buat membeli sandal jepit bekat itu.

Marni sudah ingin mendapatkan sandal bekas itu. Ketika Salamah menariknya untuk pergi, Marni menangis. Amat pilu tangisan anak perempua itu! Hati salamah semakin hancur luluh.

Baru kali ini Marni menangis untuk sepasang sandal. Sandal yg sudah bekas pakai. Ia anak yg manis, yg tak pernah meminta sesuatu dengan emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan. Dan tukang loak itu begitu terpaku melihat adegan di depannya. Dan tiba-tiba sinar kasih Allah maju di sanubarinya.

“Baiklah, seratus rupiah,” katanya kemudian.

O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dengan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.

Diciumnya dengan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yg mungil.....

Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dengan bersalam-salaman. Mereka makan dengan minum dengan riangnya. Kue-kue lezat dihidangkan. Anak-anaknya memakai baju baru. Begitu indah. Suka cita mewarnai mereka.

Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dengan bersuka cita pula. Sandal jepit kecil ditimang-timangnya. Amat sayang ia kepada sandalnya. Senandung-senandung kecil keluar keluar dari mulutnya yg mungil. Sandal pemberian emak tidak hendak dipakainya. Sayang sekali, nanti rusak, pikirnya.

Di depannya, emaknya tergolek lemas. Badannya menderita sakit panas. Lambung bagian kanannya membengkak. Nampaknya sakit levernya kambuh lagi. sudah berhari-hari ia tak cukup makan, dengan tenaganya terlalu banyak dikuras. Salamah, di hari lebaran itu hanya berbaring karena tak kuat lagi menegakkan tubuhnya. Marni yg manis, anak manis semata wayangnya, menungguinya, sementara takbir terdengar lamat-lamat... Allahu Akbar... Allah Akbar... Allahu Akbar...

Allah Maha Besar, bahkan untuk orang kecil.



Tema, Latar , dan Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Tema Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Secara umum tema yg terkandung dalam “Hadiah Lebaran untuk Marni”  adalah kisah kehidupan keluarga fakir yg bertahan hidup di bawah kolong-kolong jembatan di perkotaan.

Sedangkan secara khusus tema cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”  adalah kisah pengorbanan dengan kasih sayang seorang ibu (Salamah) yg ingin membahagiakan anaknya (Marni).


Latar Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Latar dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar tempat, latar waktu, dengan latar suasana.

1. Latar tempat

Di pasar:
Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari.
Di bawah jembatan di dalam gubuk:
Di bawah jembatan, di dalam gubug, seorang gadis kecil menunggui emaknya. Ia begitu girang dengan bersuka cita pula.
Di trotoar
Di trotoar orang ramai berdagang. Ada baju baru-baru. Ada sepatu baru-baru. Ada makanan kaleng yg tentunya lezat-lezat rasanya. Marni cuma melihat barang-barang itu.
2. Latar waktu 
Sore hari:
“Sebentar Nak, sebentar lagi. Lihat, langit sudah mulai memerah. Itu pertanda matahai mau tenggelam dengan maghrib tiba. Kau sudah mulai lapar?”
Bulan puasa:
Lepas maghrib nanti, mereka hendak berbuka puasa. Berdua. Dua ratus rupiah, hasil pagi tadi, hendak mendapat empat potong ubi rebus.
Saat Lebaran:
Hari Raya Lebaran tiba. Selesai bersembahyang Ied, orang ramai-ramai saling bertandang dengan bersalam-salaman.
3. Latar suasana
Latara suasana dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” terdiri atas latar suasana batin latar suasana keadaan.

Latar suasana batin
Girang, gembira:
O, alangkah girangnya Marni mendapatkan sandal baru untuk berlebaran. Sandal kecil bekas pakai. Barang itu lalu dibungkus dengan diserahkan kepada Marni. Lihatlah betapa gembiranya gadis cilik itu. dipeluknya bungkusan dengan erat, seakan takut barang itu lepas daripadanya.
Diciumnya dengan ditimang-timangnya. Senandung kecil terdengar dari mulutnya yg mungil.....
Pedih, sedih:
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut.

Latar suasana keadaan
Ramai berdesakan:
Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dengan kaki kirinya setengah lumpuh.
Tegang:
Nyonya notaris sudah kesal menunggu Salamah di dekat mobilnya. 
“Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.

Penokohan Cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni”

Tokoh-tokoh yg berperan dalam cerpen “Hadiah Lebaran untuk Marni” yakni: Marni, Salamah, Nyonya, dengan Tukang Loak

1. Salamah: Dilihat dari segi fisik, tokoh salamah adalah seorang wanita tua yg kaki kirinya setengah lumpuh. Hal tersebut becus dibuktikan dengan kutipan berikut.
Salamah tak bisa berbuat apa-apa. Kaki kirinya kini sudah setengan lumpuh. Ia tidak hendak selincah dulu lagi untuk menggendong barang-barang di pasar. Kini kuli penggendong barang-barang di pasar bertambah banyak. Muda-muda, jadi lebih kuat dengan lebih tangkas. Salamah kini sudah tua, dengan dengan kaki kiri setengah lumpuh. Ia tak hendak selincah mereka.
Sedangkan segi fsikis, terdapat beberapa karakter yg dimiliki oleh tokoh Salamah sebagai berikut.

Salamah adalah tokoh yg penuh pengorbanan, dengan sangat menyayangi anaknya:
ESOKNYA Salamat tertatih-tatih membawa Marni ke pasar. Badan Salamah lesu sekali rasanya pagi ini. Pagi tadi tidak makan sahur, sama seperti biasanya, hanya air putih dari ledeng umum. Dan semalam Marni mendapat sepotong ubi rebus ditambah setengah potong tambahan. Masih ada uang sisa di setagennya. Marni harus mendapatkan sesuatu untuk hari raya lusa. Marni harus mendapatkan sesuatu, pikir Salamah.
Salamah adalah pekerja keras:
Dan ia menggendong terus dengan terus, menyeruak kerumunan orang di pasar yg tak ingin diganggu. Ia terdesak ke sana ke mari. Ia tersuruk-suruk, dengan kaki kirinya setengah lumpuh. Alangkah sengsaranya orang seperti dia hendak mendapatkan dua ratus rupiah. Hanya dua ratus dengan dia harus berjalan tersendat-sendat dengan nafas tersengal-sengal. Untuk dua ratus perak, yg tak kenyang untuk berbuka puasa petang hari nanti.
2. Marni: adalah seorang anak kecil yg hidup bersama ibunya Marni. Terdapat beberapa karakter dari tokoh marni seperti berikut ini.
Marni adalah seorang tokoh yg baik, tabah dalam menghadapi ujian hidup
Alangkah pedih hati Salamah. Marni sebenarnya ingin meminta sesuatu kepadanya. Tapi takut. Takut mengundang amarahnya. Tapi tidak sayangku, bisik Salamah dalam hati. Kau terlalu baik anakku. Kau tidak melawan andai aku tidak memberimu uang....  Kau tidak minta apa-apa karena kau tahu betul betapa ibumu ini melarat. Melarat sekali. Kau tidak pernah merengek minta dibelikan mainan. Anakku, ini yg membuat aku begitu terenyuh kepadamu. Kau begitu tabah menghadapi hidup kita yg sengsara ini, Marni....
Marni adalah seorang anak yg tidak pernah meminta sesuatu dengan orang tuanya.
......................Ia anak yg manis, yg tak pernah meminta sesuatu dengan emaknya. Oh, Tuhan! Tangis Marni begitu memilukan.
3. Nyonya Notaris
Nyonya Notaris adalah gambaran seorang tokoh yg berwatak keras dengan kasar. Hal tersebut becus dibuktikan dengan kutipan berikut.
 “Lama sekali kau! Kami kesal menunggumu, Bik!” hardik nyonya itu.
.................................
 “Ayuh. Taruh di bagasi belakang. seperti keong jalanmu. Kau malas begitu tak usahlah kau bekerja. Pekerjaan apaan. Aku bisa pilih yg muda-muda.”
Budiman:
Di samping berwatak keras dengan kasar, Nyonya Notaris bersifat budiman menurut ukuran orang miskin seperti Salamah. Hal tersebut becus dibuktikan dengan kutipan berikut.
Alangkah budimannya nyonya itu. Upahnya tidak dipotong, walau ia datang agak lambat. Alangkah budimannya keluarga itu. Mereka masih memberi kesempatan baginya untuk mendapatkan dua ratus rupiah. Walau jalannya lambat, terengah-engah dengan begitu sengsara, kalau tak ada pemberian nyonya itu, mungkin ia hendak kelaparan, tak bisa berbuka puasa dengan anaknya, Marni.
4. Tukang Loak
Tukang loak dengan cerpen ini adalah seorang pedagang yg memiliki sifat acuh tak acuh, tidak peduli,  serta pelit.

Bukti kutipan:
Lalu dengan keberanian yg luar biasa, ditanyakannya berapa harga sandal jepit bekas itu.
“Dua ratus rupiah,” perlawanan tukang loak dengan acuh tak acuh.
Hatinya semakin teriris. Sedangkan Marni memandang sandal itu dengan mata berkilat-kilat. Alangkah sedihnya hati Salamah.
“Seratus rupiah, Bang,” tawarnya.
Tukang loak itu tak menjawab, cuma menggelengkan kepalanya. Congkaknya orang itu. Salamah tak segera beranjak dari tempatnya.