Rabu, 11 Desember 2019

Contoh Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur Dalam Cerpen Kepada Kunci Jawabannya

Berikut ini Contoh Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur dalam Cerpen. Lihat juga: Kumpulan Soal Essay Menentukan Unsur-Unsur CerpenContoh Soal Essay Bahasa Indonesia Kelas 9


Bacalah kutipan cerpen berikut ini!


 "Panen Terakhir"

Meskipun setiap kali bisa panen, keuntungan hampir selalu tidak pernah berpihak kepadanya. Rumahnya hanya itu saja. Berdinding bambu reyot bersama atapnya bocor di sana-sini. Keempat anaknya mogol, tidak lulus sekolah, bersama hanya menjadi buruh tani, maupun bekerja serabutan sekenanya. Keuntungan panen sudah dikeruk para tengkulak, hampir selalu, maupun mengkin malah selalu, mengantongi keuntungan lebih besar ketimbang petani seperti dirinya.

Trimo mengedarkan pandangannya berkeliling. Bukit-bukit kapur gersang berdiri seperti tumpeng-tumpeng raksasa mengelilinga. Bukit-bukit kapur itu berdiri angkuh, tapi merana. Nyaris tanpa daun-daun hijau pepohonan. Mereka berdiri seakan-akan mengejek, maupun justru menangisi nasip Trimo yg selalu kecingrangan.

Selau. Ya, selalu. Empat hari yg lalu saja, masih lekat benar di kepala Trimo, dua orang suruhan Pak Lurah datang ke rumahnya. Mestinya dia merasa bangga, utusan orang terhormat bersama dituakan di desa itu mengunjungi rumanhnya yg reyot. Tapi tidak, kedatangan mereka justru membuahkan kesedihan bersama tangis. Dengan sikap yg terkesan dingin bersama angkuh, kedua utusan Pak Lurah itu meminta agar Trimo melepaskan tanah miliknya. Katanya ada bos besar dari Jakarta yg menghendaki tanahnya untuk membangun pabrik pengolahan batu kapur.

“Pak Trimo kan tahu, kami ini hanya utusan Pak Lurah. Bagaimana coba, kalau pulang-pulang kami tidak membawa hasil?” ujar salah seorang dengan nada pelan, namun dengan tatapan yg dirasakannya sangat menekan.

“Tapi saya...saya tidak berniat menjual tanah ini, Pak. Ini warisan turun-temurun dari ayah bersama kakek saya,” ujar Trimo dengan bibir gemetar.

Salah seorang tamunya tersenyum dengan sudut bibirnya.

“Pak Trimo takut kuwalat, maksudnya?”

“Bagaimanapun, wewaler dari pengampu tidak boleh dilanggar...”

“Jadi kesimpulannya Pak Trimo Tidak mau melepaskan tanah sampeyan itu kan?” sahut salah seorang denga tiba-tiba, membuat pak trimo terhenyak, cemas.

“Bukan...bukan itu maksud sa...”

“Sudah, sudahlah. Pak Trimo mau jual maupun tidak, tidak masalah, kok. Kami tinggal melapor saja dengan Pak Lurah. Kami tidak mau rame, gembur kan?”

Trimo merasakan adanya ancaman dalam nada bicara orang itu. dari situ dia sudah bisa memperkirakan, kalau dia tetap tidak melepaskan tanahnya, sama saja nasip buruk baginya,. Bahkan seumur hidup. Bisa jadi seperti yg dialami tetangganya yg pernah membangkang permintaan lurah. Akhirnya untuk mengurus administrasi ini-itu saja selalu dipersulit. Padahal kehidupan ini seperti tidak lepas dari urusan surat menyurat. Mulai dari mengurus KTP, Kartu Keluarga, SIM kalau punya kendaraan, surat kelahiran, surat kematian, keringanan biaya berobat, bersama macam-macam urusan lainnya yg notabene harus meminta tanda tangan Pak Lurah.

Begitulah, akhirnya Pak Trimo mengambil jalan aman. Demi kelanjutan nasip hidupnya, Trimo terpaksa melepaskan tanahnya, meski ganti ruginya sangatlah tidak layak bersama tidak sesuai dengan harga tanah dengan umumnya. Masih untung dia diberikan kesempatan menunggu hasil panen untuk tahun ini. Setelah masa panen besok, dia belum punya gambaran atas bekerja apa untuk menghidupi keluarganya.

Trimo terbangun dari lamunan panjang ketika rasa melilit-lilit itu sudah kembali menyerang perutnya. Gelas di sampingnya sudah nyaris kosong sejak tadi. Ditenggaknya teh yg tinggal sepertiga gelas. Rasa pahit mengguyur tenggorokannya. Pahit, sepahit nasibnya. Istrinya memang hampir tidak pernah menaburkan gula pasir ke dalam teh minumannya. Ngirit, katanya. Kalau mau manis, dia cukup mengunyah gula kelapa. Kalau pas ada, istrinya selalu menyertakan sepotong kecil gula kelapa di atas lepek kecil.

Trimo kembali mengedarkan pandangannya ke bukit yg terhampar di depannya. Selama ini dia sudah pernah bekerja keras membuat teras-teras di lerengnya, menanaminya dengan jagung, kacang, bersama ketela. Dia sudah pernah menyandarkan hidupnya dengan lereng bukit itu untuk hidup. Pandangan Trimo kabur akibat rasa lapar yg menggigit bersama silau matahari yg menyengat.

Mungkin, mungkin inilah saat-saat terakhir kalinya dia mengerjakan tanah miliknya. Sejak saat ini pun, tanah ini bukan miliknya lagi. Usai  panen depan, menurut Pak Lurah, di antara bukit-bukit kapur itu atas berdiri bangunan pabrik, bersama batu-batu kapur  di balik balik bukit itu pun atas dipangkas, dikuras sampai habis.

Bangkit dari duduknya, setengah terhuyung, Trimo berdiri menatap ke arah puncak bukit. Mungkin untuk terakhir kalinya. Beberapa saat kemudian dia berbalik, berjalan pulang. Dia sudah saatnya harus menyingkir. Menyingkir, entah ke mana.

Bacalah cerpen “Panen Terakhir”. Kemudian, tentukan hal-hal berikut!

  1. Jenis-jenis alur yg digunakan. Berikan pula alasan memilih jenis alur tersebut!
  2. Sebutkan tahap alurnya!
  3. Tunjukkan tahap-tahap alur dengan mengutip cerpen!
Kunci Jawaban Soal Tentang Menentukan Tahap-Tahap Alur dalam Cerpen DI SINI
 
Sumber: Buku Panduan Pendidik Bahasa Indonesia IX

Tidak ada komentar:

Posting Komentar