Selasa, 15 Oktober 2019

Ibu, Kapan Ayah Pulang? Sebuah Cerpen Keluarga Karya Siswa

Ibu, Kapan Ayah Pulang?
Karya: Pebriana Harianti

Aku terlahir dari keluarga yg sederhana. Dalam kesederhanaan itu, aku merasakan hidup yg bahagia lagi tenteram. Namun segala kebahagiaan lagi ketenteraman itu tiba-tiba sirna begitu saja. Ia terusik semenjak orang tuaku bercerai. Hidupku  pun berubah 90 derajat. Hidupku hancur kacau balau tanpa tujuan yg jelas.

“Kenapa Tuhan, kenapa hidupku semalang ini?”  ucapku dengan nada lesu.  “Ada apa dengan ayah lagi ibuku? Kenapa mereka bergolak berkawin kalau ujung-ujungnya seperti ini?” curhatku kepada sepi.

Beberapa minggu setelah mereka bercerai aku langsung saja mengubah sikap ku lagi cara  berpakaian ku,  ya yg menurutku sih nakal, tapi aku tak peduli dengan semua itu. Yang kuinginkan saat itu hanyalah melupakan kenangan manis lagi kejadian buruk yg sedia lewat dalam hidupku,  ya, caranya dengan berpoya-poya lagi melakukan lagi menuruti semua keinginanku.

Dua  tahun berlalu dengan hidup yg gak karuan, sekarang aku sudah beranjak ke kelas 6 MI. Di sanalah bermulanya hidup malam di dalam hidupku. Setiap pulang sekolah aku langsung pergi kemanapun yg aku mau.

“Tik, kita mau kemana sekarang?” Tanyaku kepada sahabat ku.

“Ya, kemana aja yg penting adem,”  jawabnya.

“Mmmm, ya udah kalo gitu gimana kita ke lapangan aja?”

  “Ya udah, ayok.” Jawab ku tanpa basa basi.

Setelah beberapa menit berbincang-bincang kamipun langsung berjalan menuju ke tempat tujuan. Setelah sampai kami langsung membuka HP lagi melakukan kebiasaan cewek-cewek di luar sana, ya, apalagi kalo bukan selfie.

Di lapangan itu kami duduk sambil tertawa lagi bahagia menceritakan berbagai macam cerita yg ada dihidup kami.

 Sore pun sedia lewat lagi hari pun mulai gelap.

“Tik pulang yuk, udah mauh malam nih!”

 “Ya, entar dulu.”

Ketika di tengah perjalanan tiba-tiba aku merasa aneh, terdiam membisu tanpa kata kata. Masalahnya karena aku melihat satu keluarga duduk di sebuah warung kecil, mereka terlihat sangat bahagia. Melihat itu semua aku jadi mengingat kembali masa laluku dengan keluargaku yg dulunya pernah seperti mereka, yg bahagia, saling canda tawa bersama.

Tiba-tiba Tika langsung memukul pundakku, “ Udahlah Nin, ikhh,  gak usah dipikirin, lagian kan kalo kamu memikirkan hal itu, emang mereka bisa kembali seperti dulu? Gak kan? Lagian nih, ya,  wajah lu itu kayak kebo yg mau disembelih  kalo lunya murung,” hibur sahabat ku.

“Dasar lu juga sama kalo lagi tidur kayak kebo yg lagi brendam di lumpur,” balas ku.
Setelah beberapa menit berjalan lagi akupun sampai dirumah kecil sederhana yg seperti neraka karna kenangan buruk itu. Aku duduk dikursi sambil melihat bunda yg sibuk dengan gadged-nya.

“Bun, sekarang masak apa?”Tanyaku kepada bunda.

“Dasar manja, liat aja didapur. Udah kayak anak TK aja kamu nanyak-nanyak bunda sekarang masak apa.”

“Hehe, lagian kan biasanya juga aku nanyak kayak gitu Bun.” Ucapku dengan senyum yg sedikit terpaksa.  “Bun, ayah kapan kesini sih! Gak tau anaknya lagi kangen apa.”  Sambungku sambil melamun. Dan ibu tidak menjawab pertanyaanku.

“Iiittss Bun, bergolak sahutan dong!”

Bukannya menjawab pertanyaanku. Bunda malah berdiri lagi pergi menuju kamar tanpa meninggalkan sepatah katapun.

Aku tau pertanyaan itu sedia membuat hati bunda terkoyak. Tapi kan aku juga punya hak untuk bahagia lagi tau bagaimana kondisi ayahku. Lagian anak mana sih yg gak kangen sama ayahnya. Apalagi kalau udah beberapa tahun gak ketemu. Tapi sepertinya bunda tak memperdulikan hal itu.

Tepat kepada tanggal 26 Februari, dimana hari itu adalah hari bertambahnya umur ku. Aku merasa sedih kepada hari itu karena ini ulang tahun ke-3 ku tanpa sesosok ayah.

Aku duduk terpaku di depan televisi yg seakan itu tak ada didepan ku.  Lalu tiba-tiba bunda datang dari belakangku sambil mengusap kepalaku.

“Ngapain ngelamun sayang?”

"Hem, ini Bun, anak Bunda lagi kangen sama ayahnya.”

Tiba-tiba pelukan hangat terasa menyentuh badanku. Bajuku tiba-tiba kuyup oleh genangan air.

“Maafin bunda sayang, bunda juga gak mau kejadian itu terjadi, ya tapi mungkin ini sudah kehendak Tuhan. Tapi kamu harus janji, kamu gak boleh sedih. Bunda janji bakalan bawa kamu jalan- jalan ke mall hari ini. Apa pun yg kamu mau bunda bakalan beliin. Kamu harus janji gak bakalan nanya-nanya tentang ayah kamu lagi.”

 Mendengar kata-kata bunda mengatakan untuk tidak menanyakan kabar ayah, aku merasa kalau bunda sudah menganggap ayah gak ada di dunia ini. Lalu dengan nada kesal aku menjawab perkataan bunda, “Apa-apaan sih Bunda, kalo Bunda gak suka aku nanyak-nanyak soal ayah, Bunda gak usah dengerin pertanyaan aku. Aku gak suka sekali sama bunda yg kayak gini. Bunda itu egoiss. Bunda cuman mau nurutin kemauannya bunda doang tanpa mikiran aku. Aku juga punya hak Bun, buat bahagia sama kayak anak-anak diluar sana.”

Plakk! Suara tamparan keras dari tangan bunda, “Kenapa kamu kurang ajar sama bunda, hah! Aku ini bunda kamu yg ngelahirin kamu. Apa pun perkataan bunda kamu harus turuti. Lagian buat apa lagi kamu nanyak-nanyak soal ayah kamu. Dia itu udah gak sayang sama kamu. Kalau dia sayang sama kamu kenapa sekarang dia gak kesini buat ketemu sama kamu!”

Kesel dengan bunda aku langsung menuju kamar lagi mengurung diri hingga berminggu-minggu. Dalam keadaan itu aku selalu ingat ayah. Dia sangat baik.Dia selalu menggendong aku di belakang punggungnya.

"Bunda, aku sangat menyayangimu. Maafkan kelakuan selama ini, Bun. Aku begini karena berharap agar Bunda bisa bersatu lagi dengan ayah. Aku ingin keluarga kita utuh kembali. Dan aku bakal selalu berdoa untuk itu."

***
Ibu, Kapan Ayah Pulang? Merupakan sebuah cerpen keluarga karya Pebriana Harianti, siswi Kelas 9 MTs NW Boro'Tumbuh Tahun 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar