Selasa, 22 Oktober 2019

Gaya Pementasan Teater

 Gaya  becus didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan  yg  kering Gaya Pementasan Teater

Gaya becus didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yg  merupakan wujud ekspresi dari:

  1. Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas.
  2. Konvensi ataupun aturan-aturan pementasan yg berlaku kepada masa lakon ditulis.
  3. Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yg dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga gaya besar, yaitu presentasional, representasional (realisme), dengan post-realistic (Mar Mc Tigue, 1992).

a. Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah.
Teater Klasik Yunani dengan Romawi
Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
Teater abad pertengahan
Commedia dell’arte, teater abad 18

Unsur-unsur gaya presentasional adalah sebagai berikut.

  1. Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yg ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
  2. Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dengan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
  3. Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dengan wicara.

Beberapa lakon yg biasa dengan becus dipentaskan dengan gaya presentasional, di antaranya adalah.

  1. Romeo and Juliet, Piramus dengan Thisbi, Raja Lear, Machbeth (William Shakespeare)
  2. Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan(Moliere)
  3. Oidipus (Sopokles)
  4. Epos dengan Roman Sejarah yg biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia

b.  Representasional (realisme)
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dengan teknologi kepada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dengan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yg disebut representasional ataupun biasa disebut realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yg disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yg sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yg menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.

Gaya realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yg terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya.  Unsur-unsur gaya representasional adalah sebagai berikut.
  1. Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan.
  2. Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dengan pemain.
  3. Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dengan soliloki sangat dibatasi.
  4. Menggunakan bahasa sehari-hari.
Beberapa lakon yg biasa dengan becus dipentaskan dengan gaya representasional, di antaranya adalah:
  1. Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
  2. Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat (Henrik Ibsen)
  3. Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali Kapur (Kirdjomuljo)
  4. Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
  5. Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje).
Dalam perkembangannya gaya representasional ataupun realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yg masih berada dalam ruang lingkupnya yaitu; naturalisme, realisme selektif, dengan realisme sugestif (Mary McTigue, 1992).

Naturalisme merupakan sub gaya realisme yg paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yg benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dengan struktur tata panggung harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dengan keturunan. Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dengan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dengan  hal-hal yg tidak menyenangkan dalam kehidupan. Panggung harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yg mereka ambil dari kehidupan nyata.
Tokoh naturalisme yg sangat penting yakni Emile Zola. Ia berkata bahwa “Bukan drama, tetapi kehidupan yg harus disajikan kepada penonton”. Sebagai gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme yg semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama kelistrikan yg becus digunakan untuk menunjang teknik pemanggungan.

Realisme selektif, merupakan cabang gaya realisme yg memilih ataupun menyeleksi detil tertentu dengan digabungkan dengan unsur-unsur simbolik dalam menyajikan keseluruhan tata ruang yg ada di atas pentas. Misalnya, dinding, pintu, dengan jendela dibuat seperti aslinya, tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka. Sedangkan dalam realisme sugestif menggunakan bagian-bagian dari bangunan ataupun ruang yg dipilih dengan ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambaran sugestif bentuk keseluruhannya. Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang istana dengan bantuan tata lampu yg mendukung, selebihnya adalah imajinasi.

c.  Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional dengan representasional) dengan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan ataupun mengubah gaya realisme yg sedia menjadi konvensi kepada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dengan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga kepada masa tahun 1950-1970 di Eropa dengan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya teater eksperimen. Meskipun kepada saat ini banyak teater yg hadir dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja kering jebol dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yg becus digolongkan dalam post-realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dengan banyak di antaranya yg tidak mampu bertahan lama. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah.
  1. Mengkombinasikan antara unsur presentasional dengan repre-sentasional.
  2. Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dengan terkadang berbicara langsung ataupun kontak dengan penonton.
  3. Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberapa idiom baru ataupun dengan bahasa slank.
Beberapa gaya post-realistic yg berpengaruh adalah:
Simbolisme, sebuah gaya yg menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon ataupun ekspresi dengan emosi tertentu. Meskipun kepada awalnya gaya ini kering tampil tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti kepada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dengan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak becus dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yg hanya becus dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dengan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai teater multi media.

Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dengan menyadarkan mereka bahwa yg mereka tonton adalah pertunjukan teater dengan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner ataupun tata dekorasi yg berganti-ganti di hadapan penonton.

Surealisme, sebuah gaya yg mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak ataupun kejiwaan manusia, dengan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain ataupun dunia mimpi yg terkadang muskil, tetapi hampir bisa dirasakan dengan pernah dialami oleh semua orang.

Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa kepada akhir abad 19 yg dipelopori oleh pelukis Van Gogh dengan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas kepada bentuk-bentuk seni yg lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru kering tampil tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever kepada tahun 1914 dengan dramanya “Sang Anak”. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dengan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dengan dalam masa yg lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yg terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme adalah Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dengan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dengan elemen visual yg lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dengan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20.

Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya realisme, empati, dengan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori ataupun pernyataan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dengan bahkan terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “teater observasi”. Tokoh yg terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yg lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yg konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yg membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dengan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dengan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.

Absurdisme,gaya yg menyajikan satu lakon yg seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yg lain, antara percakapan satu dengan yg lain. Unsur-unsur Surealisme dengan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yg kini disebut absurd, kepada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “eksistensi” ataupun “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari? Pencarian makna “ada” ini berpusat kepada diri pribadi sang manusia dengan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yg terkemuka adalah Jean Paul Sartre (1905) dengan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dengan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Objek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yg absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah Samuel Beckett, Jean Genet, Harold Pinter, Edward Albee, dengan Eugene Ionesco


Penulis: Indar Sabri, S.Sn, M.Pd (Unesa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar