Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri elemen-elemen-seni-teater. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan
Menampilkan postingan yang diurutkan menurut relevansi untuk kueri elemen-elemen-seni-teater. Urutkan menurut tanggal Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Oktober 2019

Elemen-Elemen Seni Teater

 Berikut ini penjelasan lengkap tentang elemen Elemen-Elemen Seni Teater

Elemen-Elemen Seni Teater yaitu:
1. penyutraadaraan,
2. pemeran
3. penata artistik, dan
4. penonton.

Berikut ini penjelasan lengkap tentang elemen-elemen seni teater di atas.

1. Penyutradaraan
Sutradara mempunyai tugas mengkoordinasikan segala anasir pementasan, sejak latihan dimulai sampai dengan pementasan selesai. Sutradara mempunyai tugas sentral yg berat dalam sebuah pementasan, Sutradara bertanggung gerah elakan atas proses transformasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan tidak hanya akting para pemain yg diurusnya, tetapi juga kebutuhan yg berhubungan dengan artistik dengan teknis.

# Sejarah Timbulnya Sutradara
Dalam drama tradisional, kurang lebih dua abad yg lalu, belum ada sutradara.Dalam drama tradisional di Indonesia, masing-masing aktor bermain improvisasi.Yang ada hanyalah manajer dengan produser. Dalam perkembangan kedudukan sutradara, beberapa kejadian penting boleh dicatat, yaitu sebagai berikut.

1). Pada saat Saxe Meiningen mendirikan rombongan teater di Berlin, kepada tahun 1874-1890..Saat itu dipentaskan 2591 drama di wilayah Jerman.Kemudian mengadakan tour ke seluruh Eropa. Dengan peristiwa itu, dirasa kebutuhan bakal adanya sutradara yg mengkoordinasikan pementasan-pementasan.

2). Gurdon Craig (1872), putra Ellen Terry mempelopori penyutradaraan sehingga namanya sangat terkenal. Sampai kini, nam Craig dipuja sebagai sutradara genius.Dia dinyatakan sebagai sutradara yg memaksakan gagasannya kepada aktor/aktris.Melalui dirinya diperkenalkan seniman teater baru yg disebut sutradara.

3). Constantin Stanilavsky (1863-1938) merupakan sutradara Rusia yg terbesar.Ia mendirikan “Moscow Art Theater”. Dengan penyutradaraannya, dihilangkan sistem bintang, dengan ia merupakan pelopor penyutradaraan yg mementingkan sukma.

#Tugas Sutradara
Menurut Fran K. Whitting ada tiga macam tugas utama dari seorang sutradara, yaitu: merencanakan produksi pementasan, memimpin latihan aktor, dengan aktris, dengan mengorganisasi produksi.

Sutradara merupakan pimpinan utama kerja kolektif sebuah teater.Baik buruknya pementasan teater sangat ditentukan oleh kerja sutradara, meskipun unsur–unsurlainnya juga berperan tetapi masih berada di bawah kewenangan sutradara.

Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung gerah elakan terhadap kelangsungan proses terciptanya pementasan juga harus bertanggung gerah elakan terhadap masyarakat alias penonton. Meskipun dalam tugasnya seorang sutradara dibantu oleh stafnya dalam menyelesaikan tugas– tugasnya tetapi sutradara tetap merupakan penanggung gerah elakan utama. Untuk itu sutradara dituntut mempunyai pengetahuan yg luas agar mampu mengarahkan pemain untuk mencapai kreativitas maksimal dengan boleh mengatasi kendala teknis yg timbul dalam proses penciptaan.

Sebagai seorang pemimpin, sutradara harus mempunyai pedoman yg pasti sehingga bisa mengatasi kesulitan yg timbul. Menurut Harymawan (1993) Ada beberapa tipe sutradara dalam menjalankan penyutradaraanya, yaitu:

Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran dengan menyarankan konsep penafsiranya kepada pemain. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu secara kreatif. Tetapi juga terikat kepada pokok penafsiran tsb.

Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep penafsiran dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya, sementara pemain dibentuk menjadi robot-robot yg tetap buta tuli.

Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai pengarah alias polisi lalulintas yg mengkoordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsirannya.
Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru alias suhu yg mengamalkan ilmu bersamaan dengan mengasuh batin para anggotanya.Teater disamakan dengan padepokan, sehingga pemain adalah cantrik yg harus setia kepada sutradara.

2. Pemeran
Untuk mentransformasikan naskah di atas panggung dibutuhkan pemain yg mampu menghidupkan tokoh dalam naskah lakon menjadi sosok yg nyata.Pemain adalah alat untuk memeragakan tokoh.Tetapi bukan sekedar alat yg harus tunduk kepada naskah.Pemain mempunyai wewenang membuat refleksi dari naskah melalui dirinya.Agar bisa merefleksikan tokoh menjadi sesuatu yg hidup, pemain dituntut menguasai aspek-aspek pemeranan yg dilatihkan secara khusus, yaitu jasmani (tubuh/fisik), rohani (jiwa/emosi), dengan intelektual. Memindahkan naskah lakon ke dalam panggung melalui media pemain tidak sesederhana mengucapkan kata - kata yg ada dalam naskah lakon alias sekedar memperagakan keinginan penulis melainkan proses pemindahan mempunyai karekterisasi tersendiri, yaitu harus menghidupkan bahasa kata (tulis) menjadi bahasa pentas (lisan).

3. Penata Artistik
Tata artistik merupakan unsur yg tidak boleh dipisahkan dari teater. Pertunjukan teater menjadi tidak utuh tanpa adanya tata artistic yg mendukungnya. Unsur artistik disini meliputi tata panggung, tata busana, tata cahaya, tata rias, tata suara, tata musik yg boleh membantu pementasan menjadi sempurna sebagai pertunjukan. Unsur-unsur artistik menjadi lebih berarti apabila sutradara dengan penata artistic mampu memberi makna kepada bagian-bagian tersebut sehingga unsur-unsur tersebut tidak hanya sebagai bagian yg menempel alias mendukung, tetapi lebih dari itu merupakan kesatuan yg utuh dari sebuah pementasan.

Tata panggung adalah pengaturan pemandangan di panggung selama pementasan berlangsung. Tujuannya tidak sekedar supaya permainan bisa dilihat penonton tetapi juga menghidupkan pemeranan dengan suasana panggung.

Tata cahaya alias lampu adalah pengaturan pencahayaan di daerah sekitar panggung yg fungsinya untuk menghidupkan permainan dengan dan suasana lakon yg dibawakan, sehingga menimbulkan suasana istimewa.

Tata musik adalah pengaturan musik yg mengiringi pementasan teater yg berguna untuk memberi penekanan kepada suasana permainan dengan mengiringi pergantian babak dengan adegan.
Tata suara adalah pengaturan keluaran suara yg dihasilkan dari berbagai macam sumber bunyi seperti; suara aktor, efek suasana, dengan musik. Tata suara diperlukan untuk menghasilkan harmoni.
Tata rias dengan tata busana adalah pengaturan rias dengan busana yg dikenakan pemain. Gunanya untuk menonjolkan watak peran yg dimainkan, dengan bentuk fisik pemain bisa terlihat jelas penonton.

4. Penonton
Tujuan terakhir suatu pementasan lakon adalah penonton. Respon penonton atas lakon bakal menjadi suatu respons melingkar, antara penonton dengan pementasan. Banyak sutradara yg kurang memperhatikan penonton dengan menganggapnya sebagai kelompok konsumsi yg bisa menerima begitu saja apa yg disuguhkan sehingga coba terjadi suatu kegagalan dalam pementasan penonton dianggap sebagai penyebabnya karena mereka tidak mengerti alias kurang terdidik untuk memahami sebuah pementasan.

Kelompok penonton kepada sebuah pementasan adalah suatu komposisi organisme kemanusiaan yg peka. Mereka pergi menonton karena ingin memperoleh kepuasan, kebutuhan, dan  cita-cita. Alasan lainnya untuk tertawa, untuk menangis, dengan untuk digetarkan hatinya, karena terharu akibat dari hasrat ingin menonton. Penonton meninggalkan rumah, antri karcis dengan membayar biaya masuk dengan lain-lain karena teater adalah dunia ilusi dengan imajinasi. Membebaskan pola rutin kehidupan selama waktu dibuka hingga ditutupnya tirai untuk memuaskan hasrat jiwa khayalannya.

Eksistensi teater tidak mengenal batas kedudukan manusia. Secara ilmiah, manusia memiliki kekuatan menguasai sikap dengan tindakannya. Tindakannya pergi ke teater disebabkan oleh keinginan dengan kebutuhan berhubungan dengan sesama. Sehingga menempuh jalan sebagai berikut :

Bertemu dengan orang lain yg menonton teater. Teater merupakan suatu lembaga sosial.
Memproyeksikan diri dengan peranan-peranan yg melakonkan hidup dengan kehidupan di atas pentas secara khayali. Teater adalah salah satu cara proses interaksi sosial

Dalam memandang suatu karya seni penonton hendaklah mampu memelihara adanya suatu objektivitas artistik. Ini bisa tercapai dengan menentukan jarak estetik (aestetic distance) sehubungan dengan karya seni yg dihayatinya. Pemisahan yg dimaksud, antara penonton dengan yg ditonton, kepada seni teater diusahakan dengan jalan:
- Menciptakan penataan yg tepat atas auditorium dengan pentas.
- Adanya batas artistik proscenium sebagai bingkai gambar.
- Pentas yg terang dengan auditorium yg gelap.

Semua itu bakal membantu kedudukan penonton sehingga memungkinkan untuk melakukan perenungan.

Penulis: Indar Sabri, S.Sn, M.Pd

Penjelasan Tentang Seni Teater Bersama Drama


Penjelasan Tentang Seni Teater bersama Drama
Perkataan ”drama” berasal dari bahasa yunani ”draomai” yg berarti: berbuat berlaku, bertindak alias beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan alias beraksi. Drama berarti perbuatan, tindakan alias action bersama “drame” yg berasal dari kata Perancis yg diambil oleh Diderot bersama Beaumarchaid untuk menjelaskan lakon-lakon mereka tentang kehidupan kelas menengah. Dalam istilah yg lebih ketat berarti lakon serius yg menggarap satu masalah yg punya arti penting tapi tidak bertujuan mengagungkan tragika.

Baca juga:
Elemen-Elemen Seni Teater
Kata “drama” juga dianggap sudah pernah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM), sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata “teater” bersama “drama” bersandingan sedemikian erat seiring dengan perlakuan terhadap teater yg mempergunakan drama lebih identik sebagai teks alias naskah alias lakon alias karya sastra (Bakdi Soemanto, 2001).

Namun, Drama selalu dikaitkan dengan kata Teater berasal dari kata Yunani, “theatron” (bahasa Inggris, Seeing Place) yg artinya tempat alias gedung pertunjukan. Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas kata teater diartikan sebagai segala hal yg dipertunjukkan di depan orang banyak. Dengan demikian, dalam rumusan sederhana teater adalah pertunjukan, misalnya  ketoprak, ludruk, wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan, sulap, akrobat, bersama lain sebagainya.

Teater boleh dikatakan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah bersama ibu, bermain perang-perangan, bersama lain sebagainya. Selain itu, teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial kemanusiaan yg berhubungan dengan masalah ritual. Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan, keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal bersama bermakna filosofis.

Berdasarkan paparan di atas, kemungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi batasan tentang teater boleh dilihat dari sudut pandang sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar maupun pertunjukan langsung yg dihadiri penonton, serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”, (Harymawan, 1993). Dengan demikian teater adalah pertunjukan lakon yg dimainkan di atas pentas bersama disaksikan oleh penonton.

Dari penjelasan di atas boleh disimpulkan bahwa istilah “teater” berkaitan langsung dengan pertunjukan, sedangkan “drama” berkaitan dengan lakon alias naskah cerita yg atas dipentaskan. Jadi, teater adalah visualisasi dari drama alias drama yg dipentaskan di atas panggung bersama disaksikan oleh penonton. Jika “drama” adalah lakon bersama “teater” adalah pertunjukan maka “drama” merupakan bagian alias salah satu unsur dari “teater”. Dengan kata lain, secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindaktanduk pemain di atas pentas disebut acting.

Istilah acting diambil dari kata Yunani “dran” yg berarti, berbuat, berlaku, alias beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka para pemain pria dalam teater disebut actor bersama pemain wanita disebut actress (Harymawan, 1993).

Di Indonesia, dengan tahun 1920-an, belum kemarau mengembol istilah teater. Yang ada adalah sandiwara alias tonil (dari bahasa Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa “sandi” berarti “rahasia”, bersama “wara” alias “warah” yg berarti, “pengajaran”.

Menurut Ki Hajar Dewantara “sandiwara” berarti “pengajaran yg dilakukan dengan perlambang” (Harymawan, 1993). Rombongan teater dengan masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita yg disajikan dinamakan drama. Sampai dengan Zaman Jepang bersama permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandiwara masih sangat populer.Istilah teater bagi masyarakat Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan (Kasim Achmad, 2006).

Dalam kehidupan sekarang, drama mengandung arti yg lebih luas ditinjau dari apakah drama salah satu genre sastra, ataukah drama itu sebagai cabang kesenian yg mandiri.

Drama naskah merupakan salah satu genre sastra yg disejajarkan dengan puisi bersama prosa. Drama pentas adalah jenis kesenian mandiri, yg merupakan integrasi antara berbagai jenis kesenian seperti musik, tata lampu, kesenian lukis alias dekor, panggung, seni kostum seni rias bersama sebagainya.Jika kita bicarakan dram pentas sebagai kesenian mandiri, maka ingatan kita boleh kita layangkan dengan wayang, ketoprak, ludruk, lenong bersama film. Dalam kesenian tersebut, naskah drama di ramu dengan berbagai unsur untuk membentukkelengkapan.

Terminologi istilah drama biasanya di dasarkan dengan wilayah pembicaraan, apaakah yg dimaksud drama naskah alias drama pentas. Drama naskah boleh diberi batasan sebagai salah satu jenis karya sastra yg ditulis dalam bentuk dialog yg didasarkan atas konflik batin bersama mempunyai kemungkinan di pentaskan. Moulton memberikan definisi drama (pentas) sebagai hidup manusia yg dilukiskan dengan action.Hidup manusia yg dilukiskan dengan action itu lebih kemarau lepas dituliskan maka drama baik naskah maupun pentas berhubungan bahasa bersama sastra.

Keterikatan antara teater bersama drama sangat kuat. Teater tidak mungkin dipentaskan tanpa lakon (drama).Oleh karena itu pula dramaturgi menjadi bagian penting dari seni teater.

Dramaturgi berasal dari bahasa Inggris dramaturgy yg berarti seni alias tekhnik penulisan drama bersama penyajiannya dalam bentuk teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi membahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan naskah hingga pementasannya. Harymawan (1993) menyebutkan tahapan dasar untuk mempelajari dramaturgi yg disebut dengan formula dramaturgi. Formula ini disebut dengan fromula 4 M yg terdiri dari, menghayalkan, menuliskan, memainkan, bersama menyaksikan.

M1 alias menghayal, boleh dilakukan oleh seseorang alias sekelompok orang karena menemukan sesuatu gagasan yg merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan dengan suatu persitiwa baik yg disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur tertentu.Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian ditujukan dengan kehidupan seseorang. Gagasan alias daya cipta tersebut kemudian diwujudkan ke dalam besaran cerita yg dengan akhirnya berkembang menjadi sebuah lakon untuk dipentaskan.

M2 alias menulis, adalah proses seleksi alias pemilihan situasi yg harus dihidupkan begi keseluruhan lakon oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi merupakan kunci aksi. Setelah menemukan kunci  aksi ini, pengarang mulai mengatur bersama menyusun kembali situasi bersama peristiwa menjadi pola lakon tertentu. Di sini seorang pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan untuk digambarkan, suasana hati para tokoh untuk diciptakan, bersama semua unsur pembentuk lakon untuk dikomunikasikan.

M3 alias memainkan, merupakan proses para aktor memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir pertama ide bersama gagasan pengarang, aktor sebagai komunitakor, penata artsitik sebagai orang yg mewujudkan ide bersama gagasan secara visual serta penonton sebagai komunikan.

M4 alias menyaksikan, merupakan proses penerimaan bersama penyerapan informasi alias pesan yg disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para penonton. Pementasan teater boleh dikatakan berhasil lamun pesan yg hendak disampaikan boleh diterima dengan baik oleh penonton.Penonton pergi menyaksikan pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh kepuasan atas kebutuhan bersama keinginannya terhadap tontonan tersebut.

Selasa, 22 Oktober 2019

Gaya Pementasan Teater

 Gaya  becus didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan  yg  kering Gaya Pementasan Teater

Gaya becus didefinisikan sebagai corak ragam penampilan sebuah pertunjukan yg  merupakan wujud ekspresi dari:

  1. Cara pribadi sang pengarang lakon dalam menerjemahkan cerita kehidupan di atas pentas.
  2. Konvensi ataupun aturan-aturan pementasan yg berlaku kepada masa lakon ditulis.
  3. Konsep dasar sutradara dalam mementaskan lakon yg dipilih untuk menegaskan makna tertentu.
Gaya penampilan pertunjukan teater secara mendasar dibagi ke dalam tiga gaya besar, yaitu presentasional, representasional (realisme), dengan post-realistic (Mar Mc Tigue, 1992).

a. Presentasional
Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada penonton”. Bentuk-bentuk teater awal selalu menggunakan gaya ini karena memang sajian pertunjukan mereka benar-benar dipersembahkan kepada penonton. Yang termasuk dalam gaya ini adalah.
Teater Klasik Yunani dengan Romawi
Teater Timur (Oriental) termasuk teater tradisional Indonesia
Teater abad pertengahan
Commedia dell’arte, teater abad 18

Unsur-unsur gaya presentasional adalah sebagai berikut.

  1. Para pemain bermain langsung di hadapan penonton. Artinya, karya seni pemeranan yg ditampilkan oleh para aktor di atas pentas benar-benar disajikan kepada khalayak penonton sehingga bentuk ekspresi wajah, gerak, wicara sengaja diperlihatkan lebih kepada penonton daripada antarpemain.
  2. Gerak para pemain diperbesar (grand style), menggunakan wicara menyamping (aside), dengan banyak melakukan soliloki (wicara seorang diri).
  3. Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dengan wicara.

Beberapa lakon yg biasa dengan becus dipentaskan dengan gaya presentasional, di antaranya adalah.

  1. Romeo and Juliet, Piramus dengan Thisbi, Raja Lear, Machbeth (William Shakespeare)
  2. Akal Bulus Scapin, Tartuff, Tabib Gadungan(Moliere)
  3. Oidipus (Sopokles)
  4. Epos dengan Roman Sejarah yg biasa dipentaskan dalam teater tradisonal Indonesia

b.  Representasional (realisme)
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dengan teknologi kepada abad 19, bersama itu pula teknik tata lampu dengan tata panggung maju pesat sehingga para seniman teater berusaha dengan keras untuk mewujudkan gambaran kehidupan di atas pentas. Perwujudan dari usaha ini melahirkan gaya yg disebut representasional ataupun biasa disebut realisme. Gaya ini berusaha menampilkan kehidupan secara nyata di atas pentas sehingga apa yg disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah pentas teater tetapi potongan cerita kehidupan yg sesungguhnya. Para pemain beraksi seolah-olah tidak ada penonton yg menyaksikan. Tata artistik diusahakan benar-benar menyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu berlangsung.

Gaya realisme sangat mempesona karena berbeda sekali dengan gaya presentasional. Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yg terjadi di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya.  Unsur-unsur gaya representasional adalah sebagai berikut.
  1. Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah sebuah kenyataan.
  2. Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai pembatas imajiner antara penonton dengan pemain.
  3. Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dengan soliloki sangat dibatasi.
  4. Menggunakan bahasa sehari-hari.
Beberapa lakon yg biasa dengan becus dipentaskan dengan gaya representasional, di antaranya adalah:
  1. Kebun Cherry, Burung Manyar, Penagih Hutang, Pinangan (Anton Chekov)
  2. Hedda Gabbler, Hantu-hantu, Musuh Masyarakat (Henrik Ibsen)
  3. Senja Dengan Dua Kelelawar, Penggali Intan, Penggali Kapur (Kirdjomuljo)
  4. Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin)
  5. Tiang Debu, Malam Jahanam (Motinggo Boesje).
Dalam perkembangannya gaya representasional ataupun realisme ini melahirkan gaya-gaya baru yg masih berada dalam ruang lingkupnya yaitu; naturalisme, realisme selektif, dengan realisme sugestif (Mary McTigue, 1992).

Naturalisme merupakan sub gaya realisme yg paling ekstrim. Gaya ini menghendaki sajian pertunjukan yg benar-benar mirip dengan kenyataan. Setiap detil dengan struktur tata panggung harus benar-benar mirip seperti aslinya sehingga panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya. Naturalisme, selain menuntut pendekatan ilmiah, juga percaya bahwa kondisi manusia amat ditentukan oleh faktor lingkungan dengan keturunan. Dalam prakteknya kaum naturalisme banyak mengungkapkan kemerosotan dengan kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama mereka penuh dengan kebusukan manusia dengan  hal-hal yg tidak menyenangkan dalam kehidupan. Panggung harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yg mereka ambil dari kehidupan nyata.
Tokoh naturalisme yg sangat penting yakni Emile Zola. Ia berkata bahwa “Bukan drama, tetapi kehidupan yg harus disajikan kepada penonton”. Sebagai gerakan teater, naturalisme hanya hidup sampai tahun 1900 setelah itu hanya realisme yg semakin berpengaruh seiring dengan perkembangan teknologi terutama kelistrikan yg becus digunakan untuk menunjang teknik pemanggungan.

Realisme selektif, merupakan cabang gaya realisme yg memilih ataupun menyeleksi detil tertentu dengan digabungkan dengan unsur-unsur simbolik dalam menyajikan keseluruhan tata ruang yg ada di atas pentas. Misalnya, dinding, pintu, dengan jendela dibuat seperti aslinya, tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam bentuk kerangka. Sedangkan dalam realisme sugestif menggunakan bagian-bagian dari bangunan ataupun ruang yg dipilih dengan ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambaran sugestif bentuk keseluruhannya. Misalnya, satu tiang ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang istana dengan bantuan tata lampu yg mendukung, selebihnya adalah imajinasi.

c.  Gaya Post-Realistic
Dalam abad 20, seniman seni teater melakukan banyak usaha untuk membebaskan seni teater dari batasan-batasan konvensi tertentu (presentasional dengan representasional) dengan berusaha memperluas cakrawala kreativitas baik dari sisi penulisan lakon maupun penyutradaraan. Gaya ini membawa semangat untuk melawan ataupun mengubah gaya realisme yg sedia menjadi konvensi kepada masa itu. Setiap seniman memiliki caranya tersendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dengan kreasi artistiknya. Banyak percobaan dilakukan sehingga kepada masa tahun 1950-1970 di Eropa dengan Amerika gaya ini dikenal sebagai gaya teater eksperimen. Meskipun kepada saat ini banyak teater yg hadir dengan gaya realisme tetapi kecenderungan untuk melahirkan gaya baru masih saja kering jebol dari tangan-tangan kreatif pekerja seni teater. Banyak gaya yg becus digolongkan dalam post-realistic, beberapa di antaranya sangat berpengaruh dengan banyak di antaranya yg tidak mampu bertahan lama. Unsur-unsur gaya post-realistic di antaranya, adalah.
  1. Mengkombinasikan antara unsur presentasional dengan repre-sentasional.
  2. Menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dengan terkadang berbicara langsung ataupun kontak dengan penonton.
  3. Bahasa formal, sehari-hari, puitis digabungkan dengan beberapa idiom baru ataupun dengan bahasa slank.
Beberapa gaya post-realistic yg berpengaruh adalah:
Simbolisme, sebuah gaya yg menggunakan simbol-simbol untuk mengungkapkan makna lakon ataupun ekspresi dengan emosi tertentu. Meskipun kepada awalnya gaya ini kering tampil tahun 1180 di Perancis, namun baru memegang peranan berarti kepada tahun 1900. Simbolisme tidak terlalu mempercayai kelima panca indera dengan pemikiran rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi dipercayai untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak becus dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara logis pula. Kenyataan yg hanya becus dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam pertunjukan seperti seni rupa (lukisan), musik, tata lampu, seni tari, dengan unsur seni visual lain. Simbolisme sering juga disebut sebagai teater multi media.

Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton secara langsung dengan menyadarkan mereka bahwa yg mereka tonton adalah pertunjukan teater dengan bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”, menggunakan properti imajiner ataupun tata dekorasi yg berganti-ganti di hadapan penonton.

Surealisme, sebuah gaya yg mendapat pengaruh dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, penyimpangan watak ataupun kejiwaan manusia, dengan asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik karena penonton seolah dibawa ke alam lain ataupun dunia mimpi yg terkadang muskil, tetapi hampir bisa dirasakan dengan pernah dialami oleh semua orang.

Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni rupa kepada akhir abad 19 yg dipelopori oleh pelukis Van Gogh dengan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian meluas kepada bentuk-bentuk seni yg lain termasuk teater. Ekspresionisme sudah ada dalam teater jauh sebelum masa itu, hanya masih merupakan salah satu elemen saja dalam teater. Sebagai suatu gerakan teater, ia baru kering tampil tahun 1910 di Jerman. Sukses pertama teater ekspresionisme dicapai oleh Walter Hasenclever kepada tahun 1914 dengan dramanya “Sang Anak”. Adapun puncak gerakan ini terjadi sekitar tahun 1918 (pada saat Perang Dunia I) dengan mulai merosot tahun 1925. Meskipun mula-mula ekspresionisme berkembang di Eropa, terutama selama Perang Dunia I (1914-1918), namun pengaruhnya menjangkau ke luar Eropa dengan dalam masa yg lebih kemudian. Beberapa dramawan Amerika yg terpengaruh oleh gerakan ekspresionisme adalah Elmer Rice, Eugene O’neill, Marc Connelly, dengan George Kaufman. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata panggung dengan elemen visual yg lebih bebas diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis, misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi teknik dramatik dengan pendekatan-pendekatannya dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar ekspresionisme dalam teater abad 20.

Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajaran”. Gaya ini menolak gaya realisme, empati, dengan ilusi dalam usahanya mengajarkan teori ataupun pernyataan sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi, slogan, lagu, dengan bahkan terkadang melalui kontak langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga disebut “teater observasi”. Tokoh yg terkenal dalam gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan oleh Brecht untuk melawan apa yg lazim disebut sebagai teater dramatik. Teater dramatik yg konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah pertunjukan yg membuat penonton terpaku pasif. Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk “masa kini” seolah-olah masyarakat dengan waktu tidak pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dengan merupakan bagian vital dari peristiwa teater.

Absurdisme,gaya yg menyajikan satu lakon yg seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa satu dengan yg lain, antara percakapan satu dengan yg lain. Unsur-unsur Surealisme dengan Simbolisme digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama. Drama-drama yg kini disebut absurd, kepada mulanya dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme adalah mencari arti “eksistensi” ataupun “ada”. Apa akibat arti itu bagi kehidupan sehari-hari? Pencarian makna “ada” ini berpusat kepada diri pribadi sang manusia dengan keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yg terkemuka adalah Jean Paul Sartre (1905) dengan Albert Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre dengan Camus lebih banyak menekankan bentuk absurditas dunia itu sendiri. Objek absurd itu mereka tuangkan dalam bentuk teater yg absurd pula. Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah Samuel Beckett, Jean Genet, Harold Pinter, Edward Albee, dengan Eugene Ionesco


Penulis: Indar Sabri, S.Sn, M.Pd (Unesa)

Jumat, 25 Oktober 2019

Unsur Intrinsik Drama/Teater

 Tema adalah suatu amanat utama  yg disampaikan oleh pengarang  alias penulis melalui karan Unsur Intrinsik Drama/Teater

Unsur Intrinsik Drama/Teater terdiri dari :
1. tema
2. plot, dan
3. penokohan

1. Tema
Tema adalah suatu amanat utama yg disampaikan oleh pengarang alias penulis melalui karangannya (Gorys Keraf, 1994).

Tema bisa juga disebut muatan intelektual dalam sebuah permainan, ini mungkin bisa diuraikan sebagai keseluruhan pernyataan dalam sebuah permainan: topik, ide utama alias pesan, mungkin juga sebuah keadaan (Robert Cohen, 1983).

Adhy Asmara (1983) menyebut tema sebagai premis yaitu rumusan intisari cerita sebagai landasan ideal dalam menentukan arah tujuan cerita.Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa tema adalah ide dasar, gagasan alias pesan yg ada dalam naskah lakon bersama ini menentukan arah jalannya cerita.

Tema adalah rumusan inti sari cerita yg dipergunakan dalam menentukan arah bersama tujuan cerita. Dari tema inilah kemudian ditentukan lakon-lakonnya.

Tema beroleh diartikan juga sebagai sebuah gagasan pokok yg terkandung dalam drama.

Tema berhubungan dengan premis. Dari drama tersebut yg berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah drama bersama sudut pandangan yg dikemukakan oleh pengarangnya. Sudut pandang ini, sering dihubungkan dengan aliran yg dianut oleh pengarang.

Tema ada yg menyebutnya sebagai premis, root idea, thought, aim, central idea, goal, driving force bersama sebagainya.

Seorang penulis terkadang mengemukakan tema dengan jelas tetapi ada juga yg secara tersirat. Akan tetapi, tema harus dirumuskan dengan jelas, karena tema merupakan sasaran yg hendak dicapai oleh seorang penulis lakon. Ketika tema tidak terumuskan dengan jelas maka lakon tersebut atas kabur bersama tidak jelas apa yg hendak disampaikan.
Baca juga: Elemen-Elemen Seni Teater
2. Plot
Plot menurut Panuti Sudjiman dalam bukunya Kamus Istilah Sastra (1984) memberi batasan adalah jalinan peristiwa di dalam karya sastra (termasuk naskah drama alias lakon) untuk mencapai efek-efek tertentu. Pautannya beroleh diwujudkan oleh hubungan temporal (waktu) bersama oleh hubungan kausal (sebab-akibat).

Plot alias alur adalah rangkaian peristiwa yg direka bersama dijalin dengan seksama, yg menggerakkan jalan cerita melalui perumitan (penggawatan alias komplikasi) ke arah klimaks penyelesaian. Menurut J.A. Cuddon dalam Dictionary of Literaray Terms (1977), plot alias alur adalah kontruksi alias bagan alias skema alias pola dari peristiwa-peristiwa dalam lakon, puisi alias prosa bersama selanjutnya bentuk peristiwa bersama perwatakan itu menyebabkan pembaca alias penonton tegang bersama ingin tahu.

Plot alias alur menurut Hubert C. Heffner, Samuel Selden bersama Hunton D. Sellman dalam Modern Theatre Practice (1963), yaitu seluruh persiapan dalam permainan. Jadi plot berfungsi sebagi pengatur seluruh bagian permainan, pengawas utama dimana seorang penulis naskah beroleh menentukan bagaimana cara mengatur lima bagian yg lain, yaitu karakter, tema, diksi, musik, bersama spektakel.

Plot juga berfungsi sebagai bagian dasar yg membangun dalam sebuah teater bersama keseluruhan perintah dari seluruh laku maupun semua bagian dari kenyataan teater serta bagian paling penting bersama bagian yg utama dalam drama alias teater.

Plot merupakan jalinan cerita alias kerangka dari awal hingga akhir yg merupakan jalinan konflik anatara dua tokoh yg berlawanan. Konflik itu berkembang karena kontradiksi para pelaku.sifat dua tokoh itu bertentangan, misalnya: kebaikan kontra dengan kejahatan, tokoh sopan kontra dengan tokoh berutal, tokoh pembela kebenaran kontra dengan bandit, tokoh kesatria kontra dengan penjahat, tokoh bermoral kontra dengan tokoh tidak bermoral, bersama sebgainya.

Jenis Plot
Plot dibagi menjadi tiga jenis yaitu:

a.  Plot Linier
Plot Liner adalah sebuah plot yg alur ceritanya bergerak secara berurutan dari A sampai Z. Plot ini sangat umum digunakan dalam karya drama, karena sesanya lebih kering sederhana untuk ditangkap alias di terima oleh pembacanya. Disamping itu plot ini tidak juga terlalu rumit dalam proses analisanya karena secara structural lebih singkat bersama padat.

b. Plot Serkiler
Plot Serkiler merupakan Plot yg ceritanya berkisar kepada satu pristiwa saja.

Plot ini sedikit rumit bila kita tidak mengenali karakter filosofis dari karya drama tersebut. Kesiasiaan manusia yg menjadi landasan karakter filosofis plot ini, menciptakan berbagai pengulangan bersama membuat unsure plot baru yg tidak saling berkaitan. Kaitannya, justru terletak dari ketidaklogisan hubungan antara Plot. Hal ini disebabkan oleh penempatan karakter alias penokohan yg memang dirancang tidak logis, terkesan tidak masuk akal (irasional).namun demikian, plot antara plot ini justru sangant rasional bila kita memahami dari karakter filosofis yg dimiliki tohoh-tokoh ceritanya. Plot semacam ini beroleh kita lihat dalam sebagian karya Putu Wijaya, Samuel Becket maupun Ionesco.

c. Plot Episodik
Plot Episodik merupakan sebuah plot dengan jalinan cerita yg terpisah, kemudian bertemu kepada akhir cerita.  Drama episodik awalnya dimulai secara relatif dalam cerita, bersama tidak memadatkan perilaku tetapi justru memperluasnya.

Kekhasan drama episodik meliputi suatu perluasan masa waktu, kadang-kadang bertahun-tahun, bersama jarak tempat yg lebih jauh. Dalam satu drama kita beroleh melanglang buana kemana saja: ke ruang penyimpanan kecil, ruang perjamuan yg luas, tanah lapang yg terbuka, bersama puncak gunung.

Adegan pendek, terkadang hanya setengah halaman alias sangat panjang, melalui adegan panjang yg berganti-ganti.

Contoh yg menunjukkan alam perluasan drama episodik: Antony bersama Cleopatra karya Shakespeare memiliki tiga puluh empat tokoh bersama lebih empat puluh adegan, bisa juga kita lihat kepada lakon Faust (Wolfgang von Goethe), bersama sebagian besar hikayat bersama cerita-cerita kepada teater tradisional kita. Contoh Naskah Samuel backett, (Menunggu godot).

3. Penokohan
Penokohan erat hubungannya dengan perwatakan. Susunan tokoh (drama personae) adalah daftar tokoh-tokoh yg berperan dalam tokoh itu dalam susunan tokoh ini yg terlebih kering awal dijeaskan adalah nama, umur, jenis kelamin, tipe fisik, jabatan bersama keadaan kejiwaannya itu.

Penulis lakon sudah menggambarkan perwatakan tokoh-tokohnya. Watak tokoh itu atas menjadi nyata terbaca dalam dialog bersama catatan samping. Jenis bersama warna dialog atas menggambarkan watak tokoh itu. Dalam wayang kulit alias wayang orang, tokoh-tokohnya sudah memiliki watak yg khas, yg didukung pula dengan gerak-gerik, suara, panjang pendeknya dialog, jenis kalimat bersama ungkapan yg digunakan.

Dalam cerita drama lakon/tokoh  merupakan unsur yg paling aktif yg menjadi penggerak cerita. Oleh karena itu seorang lakon haruslah memiliki karakter, agar beroleh berfungsi sebagai penggerak cerita yg baik. Dalam menganalisa sebuah penokohan seorang actor harus menganalisa tokoh dengan menggunakan tiga dimensi penokohan yaitu:

a. Dimensi fisiologi ; ciri-ciri badani
usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, cirri-ciri muka,dll.

b. Dimensi sosiologi ; latar belakang kemasyarakatan
status sosial, pendidikan, pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi, pandangan hidup, agama, hobby, dll.

c. Dimensi psikologis ; latar belakang kejiwaan
temperamen, mentalitas, sifat, sikap bersama kelakuan, tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu, kecakapan, dll.


Sumber : Indar Sabri, S.Sn, M.Pd (Unesa)